Langsung ke konten utama

Postingan

Miskin Adalah Privilege

  “Miskin adalah privilege”, kalimat yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saat berjalan di halaman sekolah pagi tadi. Hari ini giliranku piket sambut di lobi sekolah. Menyambut kedatangan setiap murid dengan senyum, sapa, dan salam. Seperti biasa, aku dan rekan piketku bercanda ala-ala obrolan laki-laki nakal. Suara tawa kami sengaja ditahan atau dipelankan, bahkan sesekali berubah menjadi senyum om-om yang suka booking tempat karaoke. Berat sekali menjaga pandangan dari para perempuan cantik di sini yang notabene memang dibudayakan untuk saling tegur sapa. Sesekali aku membatin, Ya Allah… astaghfirullah… alhamdulillah… Bingung entah harus beristighfar atau bersyukur, keduanya bisa diucapkan dalam satu waktu. Mata yang cukup sehat untuk memandang keindahan paras makhluk-Nya, yang dalam keyakinanku pun akan berdosa jika dipandang secara berlebihan, lebih-lebih dengan pandangan nafsu. Kembali ke topik awal, miskin adalah privilege. Ya, bagiku miskin adalah privilege dari Allah, karena
Postingan terbaru

Sia-sia

Fakta bahwa kamu banyak yang suka atau banyak yang ngejar adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Karena itu berarti aku tidak perlu khawatir berlebihan jika suatu saat nanti takdir memisahkan jalan kita. Bukankah sedari awal kita tidak saling menjanjikan apa-apa? Hanya sebatas teman yang berusaha sejalan, melangkah beriringan, dan saling support. Sayangnya, lagi-lagi salah satu pihak melibatkan perasaan terlalu jauh. Hal yang paling aku wanti-wanti di awal pada akhirnya terjadi juga. Sebenarnya kamu sayang nggak sih? Pertanyaan yang akhirnya terlontar sebagai wujud dari kebutuhan akan kepastian. Untuk ke sekian kalinya aku tidak bisa berkata-kata. Penjelasan yang coba aku utarakan hanya berputar di isi kepala. Aku dengan mulut yang membisu dan mata yang mulai berkaca-kaca, semoga mampu ditangkap sebagai jawaban. Kita satu frekuensi, memiliki kesamaan dalam banyak hal. Sepertinya kita juga saling membutuhkan, saling berbagi kebaikan, dan banyak saling-saling lainnya. Tapi apakah l

Aku dari Pesantren

  Suasana pesantren sore hari menjelang madrasah diniyah.  “Who am I?” Suatu pertanyaan yang mau tidak mau mengantarkanku pada pertanyaan lain, “dari mana asalku?” Bukan bermaksud filosofis, aku hanya ingin flashback sedikit mengingat masa-masa remaja di pesantren. Barangkali dengan mundur sedikit bisa membuat kakiku melompat lebih jauh dan lebih tinggi, sebagaimana biasa aku praktikan dalam olahraga atau permainan tradisional “jangka”. Masa di pesantren yang kala itu cukup memberikan banyak pelajaran hidup terutama tentang prinsip dan keyakinan. Ada banyak tata nilai dan prinsip yang lambat laun pudar dari jalan hidupku. Entah karena perjalanan usia yang selalu berkembang dan terus bertemu dengan problem-problem baru, atau memang aku sendiri yang tanpa sengaja meninggalkan nilai-nilai lama. Satu yang mungkin pasti, aku memang sudah lama tidak berkunjung ke pesantren. Padahal dulu cukup rutin berkunjung ke sana, mengingat dan mengenang banyak hal. Darinya kemudian muncul semangat m

Berkaca Pada Berita

  Sumpah capek !!! Aku sedikit trauma selepas baca berita tentang guru agama di Batang yang mencabuli 35 muridnya. BANGS*T. Mungkin kasus serupa sudah banyak belakangan ini, pengasuh cabul, guru cabul, ustadz cabul, dan berbagai karakter cabul di lingkungan lainnya. Modus pada kasus kali ini yang makin menjadikanku trauma dan sedikit khawatir. Dengan dalih tes kedewasaan sebagai rangkaian proses seleksi OSIS, Si Bangs*t ini melancarkan niat bejatnya, mencabuli muridnya, bahkan tega menyetubuhi 10 korban di antaranya. Lokasinya pun tak kalah miris, aksi bejatnya dilakukan masih di lingkungan sekolah, mulai dari ruang OSIS, ruang kelas, hingga gudang mushola. Aku menulis ini dengan suasana hati berantakan tak karuan. Sedih, marah, takut, dan frustasi bercampur semua. Sesekali mengelus kening hingga menjambak rambut. Bukan kenapa, aku dengan Si Bangs*t ini ada sedikit kesamaan peran di lingkungan sekolah, sama-sama sebagai guru agama dan pembina OSIS. Ya Allah, jaga hamba… Ras

Terima kasih OSIS-MPK

Sekali lagi terima kasih, Terima kasih, bukan hanya karena momen 5 September 2022 yang memang luar biasa di rumah Mas Ketua. Kado-kado terindah kalian pun terlampau istimewa. Berbagai barang dengan brand yang masih asing di telinga. Haha. Lebih dari itu, sajian keseruan bersama sepanjang acara, menempatkanku pada tahta yang tidak semua guru punya. Senyaman itu kita, seperti mengembalikan usiaku yang mulai menua pada bayang-bayang yang begitu muda. Terima kasih juga untuk satu tahunnya. Berbagai cerita dan kenangan menjadi memori-memori indah di kepala. Suka duka, seru stres bersama tentu ada. Menyebalkan? Jangan ditanya. Haha. Kemudian maaf, Maaf jika outfit harian yang aku kenakan itu-itu saja, si paling neon, yang entah apa karenanya membuat kalian terdorong untuk menghadiahkan kaos si biru tua. Haha. Ditambah dengan tas dan jam tangan yang aku rasa semua ini adalah bentuk cinta, memaksaku untuk sedikit lebih keren dari biasanya. Maaf juga atas berbagai kekurangan yang aku

Overthinking

Ada banyak hal yang sebaiknya tidak kita ketahui secara terperinci. Dewasa ini, aku sering merasakan lelahnya dihantam kekhawatiran yang tidak pasti. Hal-hal sederhana yang sebelumnya aku anggap bakal mudah terlewati, tiba-tiba berubah menjadi sebegitu runyamnya ketika sedang kualami. Tidak semestinya segalau ini, tidak semestinya sekhawatir ini. Cerita kemarin malam misalnya, dalam sebuah obrolan tongkrongan aku akhirnya mengetahui satu fakta, lalu aku cerna fakta itu sejadi-jadinya. Bahwa sebaiknya aku berganti haluan, merubah tujuan, melepas harapan. Aku tidak seharusnya jalan terus lurus ke depan, sesekali perlu jeda untuk belok kiri dan kanan, atau bahkan putar balik jika memang dibutuhkan. Mungkin kata orang, tidak ada perjuangan yang sia-sia. Selagi mau berusaha pasti akan ada jalannya. Tapi aku sudah tidak bisa seoptimis itu, terlalu banyak ekspektasi dan realisasi yang menemui jalan buntu. Pertama gagal, lalu gagal lagi, dan gagal terus. Seru dan mengasyikan bukan? Bukan

Ningmay

  Cukup lama aku menunggu di bilik pesantren ini. Seperti santri putra lainnya, aku berusaha mencuri pandang setiap santri putri yang melintas sepulang mengaji. Berharap dapat kembali kupandangi wajah yang teduh itu. Mayang, perempuan cantik asal Kalibakung itu menjadi pusat perhatian kami. Memang bukan aku yang pertama kali kenal, sebab kami beda angkatan. Aku masuk pesantren 2010, sedang dia satu tahun setelahnya. Jelas lebih dulu diperebutkan santri putra yang seangkatan. Namun aku pantang pulang sebelum menang, pantang menyerah sebelum kalah, pantang mundur sebelum lebur. Jika mengutip lirik lagu Dewa 19, akulah arjuna yang mencari cinta wahai wanita cintailah aku. Libur panjang dimulai, seluruh santri dijemput keluarganya masing-masing. Bagiku ini merupakan kesempatan emas, momen di mana aktifitas pesantren terlepas dari pantauan pengurus. Santri putra dan putri boleh bertemu di aula penjemputan. Tumpah ruah bagai pasar tiban yang biasa digelar di lapangan kecamatan. Tak ing