Langsung ke konten utama

Aku dari Pesantren

 

Suasana pesantren sore hari menjelang madrasah diniyah. 

“Who am I?” Suatu pertanyaan yang mau tidak mau mengantarkanku pada pertanyaan lain, “dari mana asalku?”

Bukan bermaksud filosofis, aku hanya ingin flashback sedikit mengingat masa-masa remaja di pesantren. Barangkali dengan mundur sedikit bisa membuat kakiku melompat lebih jauh dan lebih tinggi, sebagaimana biasa aku praktikan dalam olahraga atau permainan tradisional “jangka”. Masa di pesantren yang kala itu cukup memberikan banyak pelajaran hidup terutama tentang prinsip dan keyakinan.

Ada banyak tata nilai dan prinsip yang lambat laun pudar dari jalan hidupku. Entah karena perjalanan usia yang selalu berkembang dan terus bertemu dengan problem-problem baru, atau memang aku sendiri yang tanpa sengaja meninggalkan nilai-nilai lama. Satu yang mungkin pasti, aku memang sudah lama tidak berkunjung ke pesantren. Padahal dulu cukup rutin berkunjung ke sana, mengingat dan mengenang banyak hal. Darinya kemudian muncul semangat mengamalkan nilai-nilai pesantren lagi.

Baiklah, aku mulai dari yang kuingat. Semasa nyantri aku begitu yakin tentang kebaikan ibadah. Aku dengan cukup mudah menikmati setiap amaliyah yang diajarkan di pesantren.

Tidur di masjid dan bangun tahajud. Aku menjadi salah santri yang kelewat sering tidur di masjid ketimbang di kamar asrama. Hal ini bermula saat aku menjadi pengurus pondok yang harus bangun lebih awal untuk membangunkan santri. Jelas kalau aku memilih tidur di kasur lantai kamar akan susah bangun, terlalu nyaman. Aku memilih tidur di masjid dengan alas sajadah berbantal lengan tangan. Kalau dipikir-pikir ulang eh aku sudah menjalankan sunah nabi yah. Haha. Aku rutin bangun tahajud pukul 03.45 WIB. Lalu lanjut bangunin santri dari pukul 04.10 WIB sampai menjelang iqomah subuh. Ya tahu sendiri kan santri kalau dibangunin ada yang gampang ada yang minta ampun.

Dulu, iya dulu, aku mudah banget memaksa bangunin diri sendiri untuk sholat tahajud dan subuh berjamaah. Lah sekarang? Subuh saja sering telat. Kadang kepikiran kok aku susah bangun tahajud?

Berikutnya, sholat dhuha di masjid SMA saat jam istirahat pertama. Ketika teman-teman kelas berkerumun ke kantin untuk makan mie sedaap kari atau tempe mendoan yang kala itu memang super murah. Aku hanya bisa ke masjid untuk menunaikan sholat dhuha 4 rokaat. Faktornya bukan karena sangat santri-able, tapi lebih karena aku tidak punya duit untuk ke kantin. Ini serius, haha, bapak suka telat ngirim uang saku. Mana biaya bulanan pondok dan SPP sekolah juga nunggak. Jadi begitulah sebab akibat aku rutin sholat dhuha. Anw, aku juga sering minum air keran masjid saat haus. Yaaa… eman saja kalau beli es teh.

Next, ngaji sore di madrasah. Saat nyantri jadwal ngaji sore sepulang dari SMA, biasanya kami sengaja sekalian mampir ke kantin pondok untuk makan siang. Wah nikmat sangat itu, makan di kondisi lapar. Setelah makan siang lanjut ke kamar istirahat sebentar sebelum lanjut madrasah. Hal menyenangkannya dari madrasah aku bisa satu kelas dengan santri-santri putri. Alpin tidak ada lawan, salah satu santri putri yang super cakep. Dari dulu aku memang terbiasa mengagumi tanpa harus memiliki.

Momen menggembirakan lainnya seperti ngaji kitab dengan ustadz dan bernadhom sebagai variasi belajar. Aku menikmati metode belajar dengan nadhom, dihafalkan sembari dilantunkan. Bahkan, hal semacam itu yang menjadikan suasana pesantren lebih hidup. Pun saat sekarang lantunan nadhom menjadi hal yang paling berhasil membuatku rindu akan pesantren.

Tidak ketinggalan, perihal bercinta kasih. Tapi untuk poin ini aku skip dulu, sedang tidak tertarik bahas itu.

Semarang, 9 Juni 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebagai Pria ...

Bagaimana seharusnya sikap pria kepada wanitanya? Sebagai pria, seringkali kita keliru dalam memberikan perlakuan kepada pasangannya. Beberapa sikap mendasar yang kita anggap benar, bisa jadi merupakan sesuatu yang salah bagi wanita. Kita sering mendengar slogan “wanita selalu benar”, lalu kita menjadikannya seperti bahan olok-olokan. Sedikit berlebihan memang, sebab sangat mungkin jika sebenarnya memang kita -sebagai pria- yang salah. Kita seringkali tidak menyadari telah berbuat keliru terhadap pasangannya. Maka dalam kesempatan ini, sepertinya menarik untuk mengulas sedikit tentang bagaimana seharusnya sikap pria terhadap wanitanya. Inilah beberapa sikap yang seharusnya pria berikan kepada wanitanya: 1.     Jangan menjelaskan, tapi meminta maaf Yups, kalau kita punya salah atau dianggap salah sama pasangan kita, tidak perlu banyak menjelaskan ini itu, it’s percuma. Ketika doi sedang marah, akan susah untuk mau menerima penjelasan kita. Jangankan menerima, mendengarkan saja ras

Miskin Adalah Privilege

  “Miskin adalah privilege”, kalimat yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saat berjalan di halaman sekolah pagi tadi. Hari ini giliranku piket sambut di lobi sekolah. Menyambut kedatangan setiap murid dengan senyum, sapa, dan salam. Seperti biasa, aku dan rekan piketku bercanda ala-ala obrolan laki-laki nakal. Suara tawa kami sengaja ditahan atau dipelankan, bahkan sesekali berubah menjadi senyum om-om yang suka booking tempat karaoke. Berat sekali menjaga pandangan dari para perempuan cantik di sini yang notabene memang dibudayakan untuk saling tegur sapa. Sesekali aku membatin, Ya Allah… astaghfirullah… alhamdulillah… Bingung entah harus beristighfar atau bersyukur, keduanya bisa diucapkan dalam satu waktu. Mata yang cukup sehat untuk memandang keindahan paras makhluk-Nya, yang dalam keyakinanku pun akan berdosa jika dipandang secara berlebihan, lebih-lebih dengan pandangan nafsu. Kembali ke topik awal, miskin adalah privilege. Ya, bagiku miskin adalah privilege dari Allah, karena

Terburu-buru

Kali ini agak santai dikit yah, Sebelumnya thanks sudah mau mampir di blogku. Blog yang aku sendiri sampai sekarang ngerasa kurang berbobot, isinya cuma keluhan-keluhan tentang kehidupan. Sepurone yo. hehe Malam ini aku sehat, dan semoga kalian pun sama. Aamiin.   Sedikit kuawali dengan cerita kemarin lusa. Pulang dari Ngaliyan menuju ke Meteseh, seperti biasa aku bermotoran santai. Berangkat dari Ngaliyan menjelang maghrib . Suasana mulai terasa gelap saat aku memasuki kawasan Undip. Tepat di lampu merah depan Undip Inn arah ke Banjarsari, sesuai dengan aba-aba lampu merah aku pun berhenti. Tidak lama kemudian terdengar suara klakson sepeda motor dari arah belakangku. Rupanya dia ingin menyerobot lampu merah itu. Sejurus kemudian aku geser motorku ke tepi, bermaksud memberi ruang agar dia bisa mendahului. Ah barangkali dia sedang terburu-buru, mungkin ada urusan penting yang sudah menunggu. Husnudzan ku. Tidak lama berselang lampu hijau pun menyala. Aku kembali menancap gas b