“Miskin adalah privilege”, kalimat yang tiba-tiba muncul dalam
pikiran saat berjalan di halaman sekolah pagi tadi. Hari ini giliranku piket sambut
di lobi sekolah. Menyambut kedatangan setiap murid dengan senyum, sapa, dan
salam. Seperti biasa, aku dan rekan piketku bercanda ala-ala obrolan laki-laki
nakal. Suara tawa kami sengaja ditahan atau dipelankan, bahkan sesekali berubah
menjadi senyum om-om yang suka booking tempat karaoke.
Berat sekali menjaga pandangan dari para perempuan cantik di sini yang
notabene memang dibudayakan untuk saling tegur sapa. Sesekali aku membatin, Ya
Allah… astaghfirullah… alhamdulillah… Bingung entah harus beristighfar atau
bersyukur, keduanya bisa diucapkan dalam satu waktu. Mata yang cukup sehat
untuk memandang keindahan paras makhluk-Nya, yang dalam keyakinanku pun akan
berdosa jika dipandang secara berlebihan, lebih-lebih dengan pandangan nafsu.
Kembali ke topik awal, miskin adalah privilege. Ya, bagiku miskin
adalah privilege dari Allah, karena dengan kondisi yang serba kekurangan
memungkinkan kita terhindar dari maksiat yang lebih besar. Bahkan, aku sempat
membayangkan jika aku dikaruniai mobil Mercedes Benz seperti yang biasa
dikendarai beberapa murid ke sekolah, mungkin aku lebih memiliki potensi untuk
mengajak perempuan bermaksiat. Jika aku punya harta yang berlebih, jelas saat
sumpek aku bisa saja lari ke tempat hiburan malam. Dalam benakku, sepertinya
semua jenis maksiat akan lebih mudah aku lakukan jika kondisi finansialku serba
ada.
Meski sebenarnya tidak melulu begitu, harta juga punya banyak
potensi kebaikan. Jika memang pribadinya baik dan dermawan, potensi pahalanya
lebih banyak pula jika banyak harta. Memang benar, harta hanya alat untuk
memperjelas karakter, yang baik akan semakin terlihat baik, yang buruk pun
sebaliknya. Namun, jika berkaca pada diriku sendiri, sepertinya hal buruk
(nafsu) yang lebih dominan menguasaiku. Maka justru dengan kondisi yang serba
kekurangan, aku bisa sedikit terhambat untuk melakukan kemaksiatan.
Wong dengan harta yang sedikit pun aku
masih sering bermaksiat. Pikir saja, berapa banyak maksiat yang sering timbul
dari kemudahan akses berinternet. WiFi gratis di sekolah maupun kost tempat
tinggal. Belum lagi serangan media sosial yang kontennya belakangan ini lebih
mudah trending dan lebih banyak viewers jika berani memamerkan aurat. Sebut
saja instragram dan tiktok, aku yakin bagi para pemilik otak mesum merasa
sangat terfasilitasi dengan media itu.
Semudah itu bray untuk bermaksiat. Tidak butuh modal banyak, cukup kuota memadai tinggal klik-klik
kebutuhan mata tercukupi.
Btw, ini tulisan tentang apa sih? Aseeeeeem… kok negatif semua
isinya.
Semarang, 7 Juni 2023
Komentar
Posting Komentar