Langsung ke konten utama

Ningmay

 


Cukup lama aku menunggu di bilik pesantren ini. Seperti santri putra lainnya, aku berusaha mencuri pandang setiap santri putri yang melintas sepulang mengaji. Berharap dapat kembali kupandangi wajah yang teduh itu. Mayang, perempuan cantik asal Kalibakung itu menjadi pusat perhatian kami. Memang bukan aku yang pertama kali kenal, sebab kami beda angkatan. Aku masuk pesantren 2010, sedang dia satu tahun setelahnya. Jelas lebih dulu diperebutkan santri putra yang seangkatan. Namun aku pantang pulang sebelum menang, pantang menyerah sebelum kalah, pantang mundur sebelum lebur. Jika mengutip lirik lagu Dewa 19,

akulah arjuna yang mencari cinta

wahai wanita cintailah aku.

Libur panjang dimulai, seluruh santri dijemput keluarganya masing-masing. Bagiku ini merupakan kesempatan emas, momen di mana aktifitas pesantren terlepas dari pantauan pengurus. Santri putra dan putri boleh bertemu di aula penjemputan. Tumpah ruah bagai pasar tiban yang biasa digelar di lapangan kecamatan. Tak ingin menyia-nyiakan momen, aku bergegas menemui perempuan cantik itu. Sayang langkahku harus terhenti, aku terkesima melihat pemandangan di depan mataku, keluarga yang cukup terpandang. Mayang ternyata masih keluarga besar dari Gus Ghofar, santri senior yang telah mengabdi bertahun-tahun dan menjadi tangan kanan Abah.

Aku mati langkah, sekejap aku teringat kampung halamanku, kondisi keluargaku. Rumah masih gubuk dengan atap genteng bekas tetangga. Orang tuaku hanya penggarap sawah milik Pak RT. Kakak kuli bangunan, sekolah hanya tamatan SD, ijazahpun masih ditahan karena masih punya tanggungan. Aku bisa sekolah sampai SMA sekarang ini pun atas dukungan Ustadz Rohman, guru ngaji satu-satunya yang ada di kampungku. Termasuk biaya makan dan diniyah pesantren, semua ditanggung beliau.

Aku masih terdiam di pintu masuk aula, apa mungkin seorang putri terpandang berkenan sekedar berkenalan dengan santri rendahan macam diriku. Tersadar, aku kembali mengamati perbincangan mereka meski dari jauh. Mayang dan Gus Ghofar sesekali tertawa, sepertinya keluarga mereka sedang ngobrol-ngobrol keseruan di asrama. Aku menyimpulkan dari cara mereka bercerita sembari menunjuk tempat di sekitar aula. Oh tawa renyahnya, manis senyumnya, tatapan matanya, dan semua yang melekat pada perempuan itu aku suka.

Mayang tiba-tiba menatap ke arahku, weh ape hal ni, aku salah tingkah. Subhanallah, walhamdulillah, walailahaillallah, wallahu akbar, TAKBIR !!!. Wkwk. Terpesona aku terpesona memandang wajahnya yang manis.

Tuk tuk tuk suara langkah kaki tepat berada di belakangku. Aku menengok lalu tertegun, kudapati Ning Ulfi, putri tunggal Abah, sedang berjalan ke arah Mayang. Sejurus kemudian aku melingsut mundur perlahan sembari membungkukkan badan menundukkan kepala, sewajarnya adab seorang santri kepada keluarga ndalem. Aku tidak berani menatap wajah Ning Ulfi berlama-lama, kurang sopan katanya. Semua santri di pesantren kagum dengan akhlak dan keilmuannya. Ning Ulfi hafidzah jebolan Pesantren Lirboyo, kiblat pesantren salaf dan pencetak ulama-ulama besar di Indonesia.

Aku tersadar, ternyata Mayang sedari tadi bukan menatapku, namun tatapan menyambut Ning Ulfi. Kedua putri cantik pesantren pun bertemu. Mayang langsung sigap memegang tangan Ning Ulfi untuk kemudian menciumnya. Sedang Gus Ghofar sedikit menunduk tersenyum, begitu juga Ning Ulfi. Sumpah! mereka Gus dan Ning yang tegnabisaresrepus, sampai susah diungkapkan dengan kata-kata.

Sudahlah, aku berniat untuk balik ke asrama. Toh tidak ada keluarga yang mau menjemputku. Aku terbiasa pulang sendiri naik angkot pedesaan warna kuning sampai jalan besar lalu dilanjut naik bus jurusan Cirebon-Semarang sekitar satu jam. Orang tuaku enggan menjemput karena harus jaga sawah, pun dengan kakakku aktifis kuli bangunan.

“Gung, pan maring endi? Mene sedelat!” panggil Gus Ghofar sejenak sebelum aku melangkah pergi.

“Wonten menopo, Gus?” sahutku.

“Bantu ngangkati barang-barange Mayang!” pinta Gus Ghofar sembari menggeser barang bawaan milik Mayang ke arahku.

“Nggih, Gus.”

Aku berjalan dengan sedikit menunduk, sesekali mencuri pandang ke arah Mayang. Dalam hati, matur nuwun Gus Ghofar, aku jadi bisa sedekat ini dengan perempuan idaman para santri.

Penuh hati-hati kuangkat satu persatu barang bawaan Mayang. Cesssss… Bahkan menyentuh hal-hal yang berhubungan dengan Mayang pun aku sudah cukup bahagia. Allah Yaa Kariim.

“Mobile Innova putih sing ana tulisane ­Keluarga Besar Pesantren Mambaul Hikmah Pemalang ya,” Jelas Gus Ghofar.

“Nggih, Gus.” kepalaku mengangguk batinku berkecamuk.

Perempuan cantik nan anggun yang aku idam-idamkan ternyata putri kiai pesantren. Aku semakin insinyur.

 

baiknya lanjut atau mundur?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebagai Pria ...

Bagaimana seharusnya sikap pria kepada wanitanya? Sebagai pria, seringkali kita keliru dalam memberikan perlakuan kepada pasangannya. Beberapa sikap mendasar yang kita anggap benar, bisa jadi merupakan sesuatu yang salah bagi wanita. Kita sering mendengar slogan “wanita selalu benar”, lalu kita menjadikannya seperti bahan olok-olokan. Sedikit berlebihan memang, sebab sangat mungkin jika sebenarnya memang kita -sebagai pria- yang salah. Kita seringkali tidak menyadari telah berbuat keliru terhadap pasangannya. Maka dalam kesempatan ini, sepertinya menarik untuk mengulas sedikit tentang bagaimana seharusnya sikap pria terhadap wanitanya. Inilah beberapa sikap yang seharusnya pria berikan kepada wanitanya: 1.     Jangan menjelaskan, tapi meminta maaf Yups, kalau kita punya salah atau dianggap salah sama pasangan kita, tidak perlu banyak menjelaskan ini itu, it’s percuma. Ketika doi sedang marah, akan susah untuk mau menerima penjelasan kita. Jangankan menerima, mendeng...

SEMACAM TANYA JAWAB

  Spesial di Hari Guru Nasional 2024, ada beberapa pertanyaan yang muncul dibalut dengan ungkapan ' selamat hari guru' oleh mereka, murid-murid kelasku. Maka dalam kesempatan ini izinkan aku menggunakan bahasa yang menyesuaikan komunikasiku bersama mereka. (panggilan diri 'Pak Hadi') Capcusss .... Pak Hadi calonnya mana? Pertanyaan cukup wajar di usia Pak Hadi yang hampir genap 30 tahun. Problemnya bukan di calon sebenarnya, lebih pada kondisi ekonomi Pak Hadi yang bisa dibilang belum stabil. Sebab untuk urusan perempuan, calon, atau apapun sebutannya, Pak Hadi bukan termasuk orang yang susah-susah amat untuk mencari dan mendapatkan. Bahkan sampai sekarang pun ada beberapa nama yang masuk daftar teman dekat dan masih intens komunikasi. Lagi-lagi karena memang belum siap untuk membangun rumah tangga. Mungkin kalian perlu tahu sedikit bagaimana kondisi ekonomi Pak Hadi. Jadi semenjak Pak Hadi kerja sudah banyak beban yang harus ditanggung. Tidak begitu ingat sampai ...

Sia-sia

Fakta bahwa kamu banyak yang suka atau banyak yang ngejar adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Karena itu berarti aku tidak perlu khawatir berlebihan jika suatu saat nanti takdir memisahkan jalan kita. Bukankah sedari awal kita tidak saling menjanjikan apa-apa? Hanya sebatas teman yang berusaha sejalan, melangkah beriringan, dan saling support. Sayangnya, lagi-lagi salah satu pihak melibatkan perasaan terlalu jauh. Hal yang paling aku wanti-wanti di awal pada akhirnya terjadi juga. Sebenarnya kamu sayang nggak sih? Pertanyaan yang akhirnya terlontar sebagai wujud dari kebutuhan akan kepastian. Untuk ke sekian kalinya aku tidak bisa berkata-kata. Penjelasan yang coba aku utarakan hanya berputar di isi kepala. Aku dengan mulut yang membisu dan mata yang mulai berkaca-kaca, semoga mampu ditangkap sebagai jawaban. Kita satu frekuensi, memiliki kesamaan dalam banyak hal. Sepertinya kita juga saling membutuhkan, saling berbagi kebaikan, dan banyak saling-saling lainnya. Tapi apakah l...