Ada yang kini merasa sedang berada di ujung ketidakpastian. Untuk semua hal, entah karir, pendidikan, asmara, keluarga, atau apapun. Merasa sudah sampai pada titik nggak tau mau ngapain lagi. Sudah berusaha untuk tetap berada di jalur yang benar, mengupayakan agar semua berjalan dengan baik, agar kehidupan bisa terus berlanjut. Tapi tetap nihil, kehidupan masih terasa melelahkan, penat, jenuh, dan huft. Apapun itu, kita berharap menemui bahagia-bahagia dengan segera. Kita menghendaki kehidupan seperti orang lain, terlihat begitu lancar dan menyenangkan. Kita kelewat sering membandingkan belum apa-apa nya kita dengan capaian teman sebaya. Mereka sudah di posisi itu, kok kita belum? Tanpa sadar mulai sering mempertanyakan, mengapa semesta tidak berpihak kepada kita?
Aku sengaja
menyebut "kita" karena bukan hanya tentang orang-orang di luar sana,
tapi juga tentang aku yang akhir-akhir ini pun turut merasakan kondisi sebegitu huft-nya.
Mau nyerah? Tapi terus apa? Bukan tidak mau, tapi memang tidak bisa menyerah.
Tidak ada tombol "surrend" dalam kehidupan kita untuk kemudian
memulai kehidupan yang baru. Kita mau tidak mau harus meneruskan kehidupan,
termasuk hari-hari kemarin yang begitu melelahkan. Akan banyak episode-episode
serupa di masa yang akan datang. Bedanya, kita akan mulai menerima, kita akan
mulai terbiasa, lalu mendewasa.
Eh sebentar,
aku sedikit teringat, bukankah sekelas nabi pun sering menghadapi ke-huft-an
hidup yang sama.
Ada satu waktu
di mana nabi diminta untuk "menyerah" oleh pamannya sendiri, Abu
Thalib. Paman yang begitu ia cintai, paman yang sedari awal membela dakwah
nabi.
Wahai anak
saudaraku, sesungguhnya kaummu telah mendatangiku dan berkata begini dan begitu,
maka hentikanlah demi dirimu dan diriku, janganlah engkau bebankan padaku
sesuatu yang aku tidak sanggup menanggungnya.
Lantas nabi
mengira akan ditelantarkan tanpa pembelaan dan dukungan dari keluarga dekatnya.
Hingga dalam kepasrahan dan keteguhan hatinya beliau menjawab,
Wahai paman,
demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya! Andai mereka meletakkan matahari di
tanganku dan bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan agama ini, sungguh
aku tidak akan berhenti, hingga Allah memenangkan agama ini atau aku ikut
binasa berkalang tanah bersamanya.
Nabi terus
mengawali dengan pasrah disertai usaha dan upaya. Nabi menyadari sedari awal
bahwa jalan dakwah ini tidak akan mulus, bahwa tantangan ke depan akan terus
terbentang. Lalu, bukankah kita juga sama? Sering menyadari bahwa kehidupan ini
tidak akan berjalan dengan baik-baik saja, bahwa kehidupan ini terus menawarkan
pilihan masalah sedemikian rupa. Kita seketika merasa tidak mampu, namun
nyatanya kita masih bertahan sampai di titik ini, melewati bertubi-tubi
masalah, bertahun-tahun lamanya.
Aku sedang
tidak menawarkan solusi apa-apa pada kehidupan ini. Aku hanya merasa perlu
terus menyadari, menyadari, dan menyadari. Untuk kemudian menerima dan
berpasrah pada kehendak Ilahi.
"(Ingatlah) ketika Tuhan berkata kepadanya (Ibrahim), "berserahdirilah!" Dia menjawab, "aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam." (QS. Al Baqarah: 131).
Akan ada saatnya kopi pait yang diminum tiap hari berubah jadi manis. Aku yakin itu. 😊
BalasHapusSalam dari pelosok Jawa Tengah. Hehe
Padahal makin ke sini makin suka kopi yang pahit. hehe
BalasHapusIyaps, tinggal liatin aja foto dia biar manis
Hapusdia... "bahasa ambigu" -
Hapus