“Bacot Lu!”
ungkapnya mengkahiri obrolan di tengah-tengah keramaian angkringan lesehan
Arista, Pamularsih.
Aku yang tak
terbiasa dengan ucapan kasar hanya menunduk terdiam. Memang bukan seluruhnya
salah Amel, sapaan akrabnya. Sangat wajar jika dia akhirnya mengumpat ucapan
kasar di hadapanku. Salahku, sedari awal menawarkan hal-hal baik baginya. Dari
mulai menjadi teman bercerita, teman bersukaria, dan teman berbagi cita. Kami
banyak kesamaan dalam segala hal. Barangkali ini yang kemudian ditangkap Amel
berlebihan. Aku mewanti-wanti sejak awal pertemuan, mohon jangan libatkan
perasaan.
Panjang lebar
aku berusaha menjelaskan, perlahan penuh pertimbangan, bahwa hubungan ini sudah
berlebihan, aku tidak bisa melanjutkan.
“Tapi aku
terlanjur nyaman, Bi” lirih Amel sembari menyela tetesan air matanya.
Aku masih saja
terdiam, berusaha menangkap semua yang telah dia utarakan. Aku tak menyangka,
sudah sejauh ini terlibat dalam alur kisahnya. Sesaat aku coba mengenang dua
bulan ke belakang, saat di mana dia sedang jatuh-jatuhnya dan aku tanpa sengaja
menyelinap menjadi penopang bahunya. Aku menyadari, memang tak semestinya aku
bersikap berlebihan, khawatir jika dinilai memberi harapan.
Maka dalam
benakku, pertemuan kali ini momen yang tepat untuk berpamitan, untuk kembali
menjadi teman sebenarnya teman, tanpa melibatkan perasaan.
“Maaf yah,”
pamitku.
“Bangsat,”
timpalnya.
Mengutip sebuah
tweet,
Sebaik apapun
cara kamu berpamitan, perpisahan tetaplah menyakitkan.
- Tere Liye
Komentar
Posting Komentar