Langsung ke konten utama

Menguji Tuhan



Setiap Kamis malam aku rutin mengikuti majlisan, entah majlis sholawat, masjlis dzikir, atau majlis ilmu (pengajian). Kamis kemarin awalnya aku berencana ikut pengajian di Girikusumo. Sudah lebih dari dua bulan nggak ke Girikusumo. Alasannya sederhana, kalau ke Giri itu pulangnya malam, bisa sampai pukul satu dini hari. Padahal esoknya aku harus kerja seperti biasa. Khawatinya nanti malah ngantuk di kerjaan, kurang profesional, dan kurang nyaman juga.

Nah awalnya emang mau ke Giri, tapi selepas sholat Isya adik dan teman-teman asrama ngajak majlisan di Masjid At-Taufiq Srondol Banyumanik. Kebetulan malam itu ada tamu spesial dari Palestina dan Hadramaut. Baraa Masoud, artis nasyid dan qari internasional dari Palestina. Satu lagi yang dari Hadramaut adalah seorang ulama, maaf aku lupa nama beliau.

Karena ewuh (sungkan) sama teman-teman, aku pun mengiyakan ajakan mereka. Pikirku, ya sudah nanti ke Girinya bisa di malam jumat berikutnya. Gasss otw ke Masjid At-Taufiq.

Sebelumnya memang sudah beberapa kali majlisan ke Masjid At-Taufiq. Terutama untuk ikut sholawatan bareng santri-santri dari Pesantren Madinatul Munawarah. Selepas majlisan biasanya ada nasi kotak untuk dibagikan kepada jamaah.

Di malam itu, aku pikir nggak akan ada nasi kotak, mengingat jumlah jamaah yang membludak dibanding dengan hari-hari biasanya. Ternyata tebakanku salah, malam itu disiapkan juga nasi kotak dengan jumlah cukup banyak menyesuaikan jumlah jamaah.

Di saat pembagian, entah itu dengan cara oper macam catering “piring terbang” atau dengan cara disodorkan langsung oleh tim pembagi, ndelalah aku nggak kebagian. Padahal sisi kanan kiri depan dan belakangku semuanya kebagian. Aku seperti dilewati begitu saja. Memang saat itu tim pembagi melihat-lihat ke arah jamaah, mana kira-kira yang belum dapat nasi kotak. Tapi entah kenapa setiap tim sedang berjalan ke arahku tiba-tiba ada jamaah dari arah lain yang langsung memanggil, “Mas, sebelah sini belum.” Dan yaaaaah, aku pun terabaikan. Haha.

Jujur sih, malam itu aku memang nggak begitu lapar. Sebab sorenya sudah sempat makan, bisalah kalau untuk bertahan sampai besok. Jadi malam itu nggak begitu ngarepin nasi kotak juga, toh bisa beli ini di warung. Hehe

Karena jamaah yang duduk di sebelahku sudah kebagian semua, aku berpikir, ah ini tim pembagi nggak mungkin sih ngelihat-lihat ke arah sini lagi. Pasti dianggap sudah kebagian nasi semua. Ya sudah aku mengurungkan harap, mungkin malam ini Allah belum ngasih rejeki “nasi kotak”. Pas aku mikir gitu, eh Reza -yang duduk nggak jauh dari posisiku- nyletuk, “Mas, durung olih?” (Mas, belum dapat nasi?) aku jawab enteng “ben, aku lagi ngetes Gusti Allah.” (biar saja, aku sedang menguji Allah).

Iya, aku sedang menguji Tuhan. Dia Yang Maha Melihat akankah tega membiarkan aku tanpa nasi kotak? Wkwk.

Nggak lama kemudian tim pembagi lewat di shaf depanku, ia sama sekali nggak melirik ke arahku, tentu karena dianggap sudah kebagian nasi kotak semua. Entah kenapa jamaah yang duduk di sebelahku juga kurang respect, mereka nggak ada yang berusaha memanggil tim pembagi untuk menyampaikan kalau aku belum kebagian.

Saat itu Reza memberanikan diri untuk menginformasikan, “Mas, ini belum.” sembari menunjuk ke arahku. Tim pembagi lekas memberiku nasi kotak. Thanks. Alhamdulillah.

Satu yang menarik, selepas itu aku ngomong ke Reza, “bisane ngomong sih, kan nyong lagi ngetes Gusti Allah.” (kenapa bilang sih, kan aku sedang menguji Allah?)

Dengan entengnya dia menjawab, “Iya, Mas. Nyong miki dikongkon Gusti Allah gon ngomong.” (iya, Mas. Aku tadi diperintah sama Allah untuk mengatakan itu).

Seolah Reza sedang menjadi utusan atau perwakilan Allah dalam menjawab tantanganku tadi.

Haha seketika kami pun tertawa…

 

Aku jadi teringat kisah Imam Malik dan Imam Syafi’I, dua ulama besar di bidang fiqih.

Satu waktu keduanya berdebat perihal takdir, apakah semua yang terjadi di dunia ini atas kehendak Allah atau ada pengaruh dari usaha makhluk?

Ikhtiyar dan tawakkal.

Rejeki itu dicari atau diberi?

Maksudnya dicari dengan kerja keras manusia atau Allah beri sekehendak-Nya?

 

Imam Malik berpendapat bahwa rejeki itu mutlak diberi, sedangkan Imam Syafii kekeh berpendapat bahwa rejeki itu diusahakan terlebih dulu baru tawakkal.

Berdebatan tidak terelakkan, Imam Syafii kemudian memilih untuk memberikan bukti secara langsung apa yang diyakini sebagai kebenaran. Beliau pergi sejenak untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan bukti tentang perlunya ikhtiar. Karena kebetulan sudah waktunya makan, beliau memilih untuk mencari santapan siang. Tidak lama kemudian beliau kembali dengan membawa buah segar. Satu buah untuk dirinya, satu buah lagi untuk guru sekaligus sahabatnya, Imam Malik.

“Wahai Syekh, ini aku bawakan buah segar untuk engkau.”

“Alhamdulillah.”

Seusai menyantap buah bersama, Imam Syafii kembali mengajak diskusi perihal rejeki.

“Benar apa pendapatku, Syekh. Agar aku bisa menyantap buah segar ini aku harus melakukan ikhtiar terlebih dahulu, aku harus keluar mencari, hingga akhirnya aku memperoleh buah dan menyantapnya. Seandainya aku tidak pergi untuk mencari, kita belum tentu bisa menyantap buah siang ini. Sekali lagi, benar pendapatku bahwa rejeki itu dicari, diikhtiari.”

“Pendapatku pun tidak keliru, Syekh. Aku memang tidak pergi ke mana-mana. Dan belum lama aku membatin, Ya Allah kalau siang-siang begini bisa menyantap buah segar pasti nikmat sekali. Eh tidak lama kemudian engkau kembali dengan membawa buah segar. Aku pun bisa menyantap buah segar tadi tanpa perlu pergi mencari, tanpa melalui proses ikhtiar. Benar pendapatku bahwa rejeki itu diberi.”

Kedua ulama besar tersebut pun saling memandang dan tersenyum satu sama lain. Aiiiiih romantis sekali.

Imam Syafii dimuliakan karena keyakinan dalam ikhtiarnya, sedang Imam Malik dimuliakan karena keyakinan dalam tawakkalnya. Maa Syaa Allah.

Untuk kisah lengkapnya kalian bisa searching sendiri yah. Apa yang aku tulis sebatas yang aku ingat. Sorry.

 

Sekian yaaaaah… Ngantuk.

Semarang, 22 Maret 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebagai Pria ...

Bagaimana seharusnya sikap pria kepada wanitanya? Sebagai pria, seringkali kita keliru dalam memberikan perlakuan kepada pasangannya. Beberapa sikap mendasar yang kita anggap benar, bisa jadi merupakan sesuatu yang salah bagi wanita. Kita sering mendengar slogan “wanita selalu benar”, lalu kita menjadikannya seperti bahan olok-olokan. Sedikit berlebihan memang, sebab sangat mungkin jika sebenarnya memang kita -sebagai pria- yang salah. Kita seringkali tidak menyadari telah berbuat keliru terhadap pasangannya. Maka dalam kesempatan ini, sepertinya menarik untuk mengulas sedikit tentang bagaimana seharusnya sikap pria terhadap wanitanya. Inilah beberapa sikap yang seharusnya pria berikan kepada wanitanya: 1.     Jangan menjelaskan, tapi meminta maaf Yups, kalau kita punya salah atau dianggap salah sama pasangan kita, tidak perlu banyak menjelaskan ini itu, it’s percuma. Ketika doi sedang marah, akan susah untuk mau menerima penjelasan kita. Jangankan menerima, mendeng...

SEMACAM TANYA JAWAB

  Spesial di Hari Guru Nasional 2024, ada beberapa pertanyaan yang muncul dibalut dengan ungkapan ' selamat hari guru' oleh mereka, murid-murid kelasku. Maka dalam kesempatan ini izinkan aku menggunakan bahasa yang menyesuaikan komunikasiku bersama mereka. (panggilan diri 'Pak Hadi') Capcusss .... Pak Hadi calonnya mana? Pertanyaan cukup wajar di usia Pak Hadi yang hampir genap 30 tahun. Problemnya bukan di calon sebenarnya, lebih pada kondisi ekonomi Pak Hadi yang bisa dibilang belum stabil. Sebab untuk urusan perempuan, calon, atau apapun sebutannya, Pak Hadi bukan termasuk orang yang susah-susah amat untuk mencari dan mendapatkan. Bahkan sampai sekarang pun ada beberapa nama yang masuk daftar teman dekat dan masih intens komunikasi. Lagi-lagi karena memang belum siap untuk membangun rumah tangga. Mungkin kalian perlu tahu sedikit bagaimana kondisi ekonomi Pak Hadi. Jadi semenjak Pak Hadi kerja sudah banyak beban yang harus ditanggung. Tidak begitu ingat sampai ...

Sia-sia

Fakta bahwa kamu banyak yang suka atau banyak yang ngejar adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Karena itu berarti aku tidak perlu khawatir berlebihan jika suatu saat nanti takdir memisahkan jalan kita. Bukankah sedari awal kita tidak saling menjanjikan apa-apa? Hanya sebatas teman yang berusaha sejalan, melangkah beriringan, dan saling support. Sayangnya, lagi-lagi salah satu pihak melibatkan perasaan terlalu jauh. Hal yang paling aku wanti-wanti di awal pada akhirnya terjadi juga. Sebenarnya kamu sayang nggak sih? Pertanyaan yang akhirnya terlontar sebagai wujud dari kebutuhan akan kepastian. Untuk ke sekian kalinya aku tidak bisa berkata-kata. Penjelasan yang coba aku utarakan hanya berputar di isi kepala. Aku dengan mulut yang membisu dan mata yang mulai berkaca-kaca, semoga mampu ditangkap sebagai jawaban. Kita satu frekuensi, memiliki kesamaan dalam banyak hal. Sepertinya kita juga saling membutuhkan, saling berbagi kebaikan, dan banyak saling-saling lainnya. Tapi apakah l...