Buat kita-kita
yang masih sering ngremehin ibu. Stop uy.
Semasa SD, ibu
menyuruh kita sekolah dan belajar yang rajin. Kita malah malas-malasan dan
asyik bermain, karena kita menganggap belajar itu membosankan. Di balik itu,
ibu tahu hinanya diremehkan sebab tidak berpendidikan, ibu tahu lelahnya
mencari kerja tanpa ijazah dan pengetahuan.
Semasa SMP, ibu
sering menyuruh kita untuk membeli bumbu dapur, minyak, kerupuk, obat nyamuk,
dan kebutuhan lainnya. Kita malah bermuka masam, seolah tidak suka diberi
perintah. Kita menyalahkan ibu, kenapa selalu kita yang diperintah padahal ada
kakak dan adik. Di balik itu, ibu sedang mengajarkan kita untuk terbiasa
bekerja keras. Sebab, ibu tahu masa depan kita belum pasti. Ibu khawatir kita
tidak mampu melawan kerasnya hidup. Kita tidak tahu, perlakuan ini juga sudah
dirasakan kakak kita, sedang pada adik kita hanya menunggu gilirannya.
Semasa remaja,
ibu melarang kita berpacaran, ibu juga melarang kita pulang malam. Kita merasa
ibu tidak mengerti perasaan dan keinginan kaum remaja. Bukan ibu tidak mengerti,
bukan. Justru karena ibu sangat mengerti, sehingga menjadikannya khawatir
dengan pergaulan kita. Ibu tidak ingin terjadi hal-hal buruk pada kita. Ibu
begitu mengharapkan masa depan yang baik untuk kita.
Di usia nikah,
ibu menyuruh kita mencari pasangan yang mapan (kaya). Kita malah nge-cap ibu
matre. Padahal ibu begitu paham rasanya menjadi orang miskin, dan serba
kesusahan. Kita malah ngotot dengan pilihan kita atas dasar cinta. Di balik
itu, ibu tahu bahwa kemiskinan rawan pertikaian. Ibu tahu "cinta"
yang kita banggakan-banggakan seringkali palsu.
"Ah ibu
nggak asyik, maunya menang sendiri."
"Tapi kita
sudah dewasa, kita tahu mana yang terbaik untuk kita."
Sek toh, ojo
rumongso biso, bisoho rumongso...
"Ah ibu
nggak asyik, maunya menang sendiri."
Eh tahu tidak,
semasa remaja ibu juga pernah ngomong gitu ke nenek. Makanya sekarang ibu
lakuin hal yang sama ke kita. Bukan ibu dendam, sama sekali bukan. Hanya saja
ibu baru menyadari, apa yang dulu nenek ajarkan dan nasihatkan kepadanya adalah
sebuah kebenaran. Sekarang, ibu berusaha meyakinkan kita tentang kebenaran
ajaran itu. Ibu tidak mau kita menyesal di kemudian hari, seperti yang ibu
alami sekarang.
Ibu meminta
anak perempuannya untuk mencuci perabotan dan belajar memasak. Bukan karena ibu
sudah malas mencuci dan memasak, bukan. Hanya saja ibu sedang mempersiapkan
anaknya menjadi perempuan yang layak dijadikan istri.
Ibu meminta
anak laki-lakinya untuk merantau. Bukan karena ibu bosan melihat anaknya di
rumah, bukan. Sungguh dengan berat hati ibu harus melepasnya pergi. Ibu tidak
ingin anak laki-lakinya menjadi pecundang dan terus menerus bergantung pada
orang tuanya. Ibu ingin anaknya mandiri dan cukup mampu jika pada masanya
ditunjuk menjadi kepala keluarga.
"Tapi kita
sudah dewasa, kita tahu mana yang terbaik untuk kita."
Ibu meminta
kita untuk segera menikah di usia 25, tapi kita menganggap ini sudah bukan
urusannya. Bukan semata-mata ibu ingin segera menggendong cucu, bukan. Ibu
hanya khawatir usia kita terpaut jauh dengan anak pertama kita nantinya.
Sehingga kita tidak cukup usia untuk mempertimbangkan calon menantu, serta
tidak cukup tenaga untuk menggendong cucu. Bagaimana, ternyata sejauh itu ibu
memikirkan masa depan kita.
Ibu kurang
sepakat jika mendapat menantu terlalu jauh. Bukan karena ibu takut kehilangan
kita, Bukan. Ibu hanya khawatir nantinya kita menyesal, sebab tidak bisa
berbhakti di penghujung hayatnya. Atau jika kita memilih tinggal di dekat rumah
ibu, kita tidak bisa menemani pasangan kita berbhakti pada ibunya.
Akhirnya, jika
ada perbedaan pandangan, maka sampaikan. Kita beri alasan, ibu akan
mendengarkan. Lalu bergantian, ijinkan ibu memberi penjelasan. Mengertilah, ibu
tidak akan memaksaan jika kita cukup meyakinkan.
Sungguh membahas tentang ibu tidak
akan ada habisnya. Dari saya sekian, silahkan dilanjutkan!
Semarang, 17
Juli 2020
Komentar
Posting Komentar