Baru tersadar, agaknya hutangku
cukup banyak pada negara. Bukan tentang jasa para pahlawan yang tentu tidak
akan pernah mampu kuhitung apalagi kubalas (kulunasi). Ini real tentang hutang
uang. Aku benar-benar punya hutang pada negara semasa kuliah. Kalau hendak
dihitung mungkin kisaran 48 juta. Emang hutang apa sih? Bagi kalian yang satu
nasib dan satu perjuangan denganku pasti tahu. Yups, hutang Bidikmisi, Beasiswa
Pendidikan Miskin dan Berprestasi atau sekarang telah berganti nama menjadi
beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-Kuliah).
Bagi kami yang menerima tahu betul berapa
jumlah besaran beasiswanya, satu juta perbulan atau enam juta persemester.
Nominal tersebut tidak semua kami terima untuk uang bulanan, sebagian langsung
terpotong untuk membayar UKT kampus sebesar 2,4 juta. Jadi uang jajan yang kami
terima sebesar 3,6 juta persemester atau 600 ribu perbulan. Cukup lumayan untuk biaya hidup di Ngaliyan yang tergolong murah.
Bagiku beasiswa itu hutang yang harus dilunasi di kemudian hari. Namun, sampai sekarang aku tidak tahu
bagaimana cara melunasinya. Jika mengutip pesan dari Wakil Rektor 3 saat itu,
sebagai wujud balasnya kami diharapkan bisa memberikan sumbangsih tenaga dan
pemikiran untuk masyarakat, bangsa, dan negara. Mohon maaf, tapi nyatanya
sampai dengan tulisan ini dibuat, kami sudah lulus dan bekerja, tetap belum bisa
memberikan sumbangsih apa-apa pada negara. Jangankan sumbangsih, sebagian dari
kami malah justru menjadi beban negara dengan menjadi pengangguran,
peminta-minta, atau hutang sana hutang sini.
Jika mengingat proses pendaftaran
Bidikmisi dulu, rasanya aku ingin menyampaikan banyak permohonan maaf ke
kawan-kawan seperjuanganku dulu yang kurang beruntung. Aku merasa telah
mengambil hak mereka. Banyak dari mereka yang sebenarnya lebih layak menerima
Bidikmisi ketimbang aku yang nyatanya minim ambisi minim prestasi. Sebab,
sedari awal memang aku tidak berencana turut mendaftar beasiswa ini. Bukan
tidak tertarik yah, tapi merasa pesimis dengan diri sendiri. Aku saat itu
adalah mahasiswa kurang miskin dan kurang prestasi, sangat bertolak belakang
dengan target sasaran Bidikmisi.
Lanjut ke awal cerita hutangku pada
Bidikmisi. Awal cerita kenapa aku daftar Bidikmisi?
Jujur kala itu aku tidak berpikiran
untuk mendaftar, sebatas untuk melirik saja aku kurang. Aku mendaftar karena
ikut-ikutan teman, lah wong hampir semua santri di pondokku daftar, ya sudah
aku iseng ikut daftar. Kata temanku sih "siapa tahu rejeki?". Dalam
hati aku meng-iya-kan, eh benar juga yah. Pada hari terakhir pendaftaran
aku baru menyiapkan berkas dan memutuskan untuk mendaftar.
Pada seleksi tahap pertama atau
pemberkasan, semua teman-temanku lolos termasuk aku. Kami lanjut mempersiapkan
tahap kedua, yaitu seleksi tes tertulis. Kali ini aku yang awalnya iseng mulai
sedikit serius. Saat yang lain belajar materi aku tidak mau kalah. Kami
layaknya pasukan yang siap tempur di medan perang. Kami menyiapkan segala
kebutuhan selama seleksi dengan matang. Sampai dengan waktu tes kami merasa
baik-baik saja. Saat hasil pengumuman seleksi tahap 2 dirilis pun kami sebagian
besar lolos. Alhamdulillah masih lancar.
Masuk seleksi tahap ketiga, pada tahap
ini kami diwawancara oleh dosen serta rumah kami disurvei langsung oleh tim
dari kampus. Untuk kali ini, tidak banyak yang aku persiapkan. Sebelumnya kami sudah
diminta membuat profil diri lengkap dengan prestasi dan kelebihan yang
dimiliki. Aku menulis ala kadarnya, prestasi tetap ada barang satu atau dua.
Poin plusnya mungkin karena impian yang aku tuliskan penuh semangat dan gairah.
I think. Hehe.
Sebelum wawancara aku sempatkan diri
untuk memohon doa restu kepada siapapun. Aku SMS ke orang tua, guru, ustadz
pesantren, dan teman-teman. Aku salamin (jabat tangan) juga ke teman-teman
dan senior di pondok. Tak kalah penting aku juga memposting status di facebook.
Semua aku lakukan dalam rangka mengetuk pintu langit. Aku meyakini jalur langit lebih menjanjikan daripada jalur orang dalam. Hehe.
Alhamdulillah setiap pertanyaan saat
wawancara aku jawab dengan yakin. Pertanyaan yang paling aku ingat ada dua.
Pertama, pertanyaan English yang aku ingat-ingat karena kurang tahu artinya.
"How about your parents?". Aku berusaha menjawab meskipun penuh
kebingungan, "What the meaning of parents, Sir?". Kedua, pertanyaan
yang aku ingat karena berkaitan dengan prinsip dan keyakinan. "Bagaimana
kalau kamu tidak lolos Bidikmisi?" Aku jawab dengan yakin "Jika saya
diterima in syaa Allah akan memperlancar kuliah saya. Tapi jika tidak,
saya yakin rejeki Allah ada di mana-mana, mungkin saya bisa sembari kerja walaupun
nanti kuliahnya kurang maksimal, yang terpenting saya tetap bisa kuliah."
Suasana tegang seusai wawancara mulai
mereda dari ingatan. Kami semua harap-harap cemas menanti pengumuman kelulusan.
Seminggu berlalu, entah kapan tepatnya, selepas jamaah Isya tiba-tiba aku
menerima kabar dari rumah. Keluargaku baru saja didatangi tim survei dari UIN.
Sebelum masuk ke rumah, mereka (tim survei) sudah bertanya kepada tetangga
sekitar tentang kondisi keluarga kami. Mereka ingin memastikan bahwa keluarga
kami memang belum berkecukupan.
Pada saat ayahku bercerita via
telepon, seketika muncul rasa bangga dalam benakku, bukan karena aku miskin,
bukan, tapi lebih karena baru kali pertama ada tim dari kampus yang singgah ke
rumahku. Lebih bangga lagi karena tetangga sekitar banyak yang membicarakan hal
itu. Wkwk.
Alhamdulillah berkat ikhtiar dan
doa, aku dinyatakan diterima sebagai mahasiswa Bidikmisi.
Qadarullah, atas kuasa Allah, melalui perantara Bidikmisi perkuliahanku
terbilang lancar. Aku bisa fokus menjalani kehidupan di kampus, mengembangkan
diri, aktif berorganisasi, dan hal-hal baik lainnya. Aku juga mendapat kesempatan
untuk aktif di agenda-agenda resmi yang menjadi program Bidikmisi, terutama
yang paling spesial bisa merasakan suasana bimbel English dan Arabic di Pare.
Aku bisa studi banding ke kampus di Jogja. Kalau mengingat semua itu, sepertinya
masih teramat kurang syukurku. Banyak nikmat yang kurasakan tapi sedikit syukur
yang kupanjatkan. Sepurone Gusti.
Di Bidikmisi aku pun berusaha aktif dalam kepengurusan, banyak yang bilang sebagai bagian balas jasa dari kami untuk Bidikmisi, meski tak seberapa.
Sebagai penutup tulisan, aku ingin menyampaikan banyak-banyak terima kasih kepada negara, kampus, dan pihak-pihak yang turut mempermudah langkahku selama menempuh perkuliahan.
Perkenanlah aku untuk mengutip beberapa bait lagu “Terima Kasihku Bidikmisi”,
Terima kasihku
pada-Mu oh Tuhan
Terima kasihku
padamu oh negara
Karenamulah
dapat kuraih cita-cita
Jadi sarjana di
kampus kebanggaan.
Terima kasih juga kepada teman-teman
seperjuanganku. Terima kasih sekaligus permohonan maaf dariku untuk kalian yang
namanya harus tersingkirkan karena keikutsertaanku. Kalian luar biasa.
Semoga apa yang kita cita-citakan
bersama segera terwujud. Semoga pendidikan di Indonesia semakin maju. Jayalah
Negeriku Jayalah Bangsaku.
Meanwhile, aku mengalami proses yang sama untuk mendaftar beasiswa LPDP.
Mohon arahannya, Senior!
Semarang, 10 Maret 2022.
Komentar
Posting Komentar