Langsung ke konten utama

Aku Sekuler ...

 

Sumber: hmikomhukumuh.wordpress.com

Aku Sekuler ...


Dalam satu kesempatan pernah seorang murid dengan bangganya mengatakan dirinya sekuler. Pernyataan itu muncul pasca aku kasih studi kasus tentang batasan menaati perintah dari ulil amri (pemimpin). Aku anggap masih wajar, karena mungkin belum cukup wawasan, atau memang suka baca-baca buku yang sekuler. Oh iya mungkin perlu aku sampaikan dulu apa itu sekuler. Jadi, sekuler atau sekulerisme itu sebuah paham yang memisahkan antara urusan kenegaraan dan keagamaan. Ya kurang lebih begitulah, pokoknya negara ya negara, agama ya agama, jangan dibawa-bawa ke urusan negara, agama urusan pribadi masing-masing.

Oke lanjut. Satu hal yang aku tangkap dari arah pembicaraan murid tersebut, dia tidak begitu suka dengan praktik Islam yang berlebihan, radikal, dan semacamnya. Dia merasa aturan pemerintah lah yang perlu dijalankan. Eh biar tidak salah paham, begini saja. Saat itu aku mencontohkan kasus di Prancis yang melarang muslimah mengenakan kerudung sebelum usia sekian. Ya intinya ada batasan usia di mana seorang muslimah baru boleh mengenakan kerudung. Aku mengartikan itu sebuah perintah atau aturan yang tidak sesuai dengan aturan agama. Maka waktu itu yang aku tanyakan, bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim/muslimah seandainya kita hidup di Prancis.

Dia dengan santainya mengatakan harusnya tetap mengikuti aturan pemerintah. Dia lebih tegas lagi mengatakan, saya pribadi dukung pemerintah Prancis. Sebelum itu dia juga sempat mencontohkan kasus lain yang lebih familiar. Aturan diperbolehkannya investasi bisnis miras di Indonesia, saya dukung malah selagi menghasilkan pemasukan untuk negara, kan bagus. Kasus yang tidak selaras sebenarnya, dalam kasus versi Indonesia kan pemerintah membolehkan adanya investasi bisnis miras, bukan memerintahkan umat muslim untuk investasi miras. Jadi tidak ada perintah di situ, tidak ada kewajiban harus investasi miras. Umat muslim aman-aman saja.

Coba kita kembali ke kasus di Prancis, di sana muslimah dilarang berkerudung sebelum mencapai usia tertentu. Atau mudahnya begini, di Prancis sana pemerintahnya memerintahkan ke rakyatnya yang muslimah agar tidak berkerudung (sebelum masuk usia yang ditentukan). Jelas itu bertentangan dengan aturan Islam. Muslimah di sana menjadi bingung, ngikutin aturan pemerintah tapi berdosa, kalau tidak mengikuti berarti tidak taat kepada ulil amri (pemimpin). Nah ini maksud dari pertanyaan yang aku ajukan, boleh tidak sih kita menolak aturan pemerintah yang tidak selaras dengan keyakinan agama kita?

Ya begitulah, bahwa ada perbedaan kasus. Eh tapi setelah aku cek di internet, ada sedikit perbedaan tentang aturan berkerudung di Prancis, silahkan cek sendiri. Tapi poinnya adalah murid tersebut dengan bangganya mengatakan dirinya sekuler.

Oke lah sampai sini aku anggap fine-fine saja. Dia lanjut menjelaskan, dia tidak suka praktik-praktik kekerasan dalam Islam. Seperti menggorok (menyembelih) orang kafir, pengeboman, dan lain-lain. Aku baru nangkep, oh jadi ini yang menyebabkan dia tidak begitu suka membawa-bawa nama Islam. Lebih nyaman dengan sekulerisme. Aku menganggapnya dia sebagai korban, sebab yang sering dia lihat adalah praktik keagaaman yang keras, yang menurut aku pribadi juga praktik tersebut keliru. Sedikit miris saja, ternyata dia salah melihat praktik Islam yang memang dijalankan oleh kelompok tertentu.

Aku merasa seperti ada tanggung jawab besar untuk menyadarkan, bahwa banyak kok kelompok umat Islam yang moderat, damai, lemah lembut, dan baik. Banyak pula ulama-ulama di Indonesia yang menyegukkan mata ketika dipandang, penuh tauladan, serta praktik kehidupan Islam yang disegani banyak orang. Mungkin karena dermawannya, keluhuran budi pekertinya, ketinggian ilmunya, atau kebaikan lainnya. Ketika dia (murid tersebut) lebih sering melihat praktik-praktik Islam yang damai seperti itu, aku yakin dia akan bangga sebagai muslim. Sebagaimana aku juga merasa bangga menjadi santri, ya meskipun secara perilaku masih belum mencerminkan karakter santri sih. Tetapi minimal aku merasa bangga dengan Islam, merasa bangga dengan praktik-praktik kehidupan Islam di lingkungan sekitarku. Aku bukan penganut paham sekuler. Aku menganggap praktik keagamaan juga bisa dipadukan dengan praktik kenegaraan, sebagaimana dicontohkan oleh ormas-ormas Islam yang nyatanya bisa bersinergi dengan pemerintah.

Ada dua ormas Islam besar di Indonesia yang mempraktikan nilai-nilai ajaran Islam yang moderat, bahwa sebagai muslim yang baik kita juga harus menjadi warga negara yang baik, atau sebaliknya sebagai warga negara yang baik maka juga harus menjadi penganut agama yang baik. Sederhana sih, karena ini kan memang makna sila pertama dalam Pancasila sebagai ideologi bangsa. Oh iya, ormas yang aku maksud adalah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Aku mengaku bangga menjadi anggota dari salah satu ormas tersebut.

Kembali ke kasus sekuler tadi, eh apa yah… cukup sekian saja lah.

Kalau ingat sirah nabawiyah, ternyata masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam ya karena Islam adalah agama yang damai, mengajarkan hal-hal baik, agama yang benar. Bahkan, orang-orang non muslim pun mengagumi praktik kehidupan umat muslim. Ya ini kalau bicara sirah nabawiyah, tentu karena keluhuran budi pekerti nabi sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) sehingga begitu dicintai oleh umatnya dan disegani oleh musuh-musuhnya.

Kesimpulannya aku kembalikan ke pembaca masing-masing. Biasa lah, tulisan ini hanya bentuk pencurahan keresahan diri. Thanks…   

Eh setelah aku baca ulang, ada satu poin lagi yang tertingga. Bahwa dalam Islam ada Batasan tertentu dalam menaati perintah pemimpin. Selagi perintah tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka kita sebagai rakyat wajib menjalankannya. Namun, kalau perintah itu berupa kemaksiatan, maka tidak ada kewajiban untuk menjalankannya. Laa thaa’ata fii ma’siyati, innamat thaa’atu fil ma’ruuf (bukanlah ketaatan itu dalam bermaksiat, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam berbuat kebaikan). Wallahu a'lam bi al-shawab.

 

Tembalang, 3 Agustus 2021 Pukul 11.39 WIB


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebagai Pria ...

Bagaimana seharusnya sikap pria kepada wanitanya? Sebagai pria, seringkali kita keliru dalam memberikan perlakuan kepada pasangannya. Beberapa sikap mendasar yang kita anggap benar, bisa jadi merupakan sesuatu yang salah bagi wanita. Kita sering mendengar slogan “wanita selalu benar”, lalu kita menjadikannya seperti bahan olok-olokan. Sedikit berlebihan memang, sebab sangat mungkin jika sebenarnya memang kita -sebagai pria- yang salah. Kita seringkali tidak menyadari telah berbuat keliru terhadap pasangannya. Maka dalam kesempatan ini, sepertinya menarik untuk mengulas sedikit tentang bagaimana seharusnya sikap pria terhadap wanitanya. Inilah beberapa sikap yang seharusnya pria berikan kepada wanitanya: 1.     Jangan menjelaskan, tapi meminta maaf Yups, kalau kita punya salah atau dianggap salah sama pasangan kita, tidak perlu banyak menjelaskan ini itu, it’s percuma. Ketika doi sedang marah, akan susah untuk mau menerima penjelasan kita. Jangankan menerima, mendeng...

SEMACAM TANYA JAWAB

  Spesial di Hari Guru Nasional 2024, ada beberapa pertanyaan yang muncul dibalut dengan ungkapan ' selamat hari guru' oleh mereka, murid-murid kelasku. Maka dalam kesempatan ini izinkan aku menggunakan bahasa yang menyesuaikan komunikasiku bersama mereka. (panggilan diri 'Pak Hadi') Capcusss .... Pak Hadi calonnya mana? Pertanyaan cukup wajar di usia Pak Hadi yang hampir genap 30 tahun. Problemnya bukan di calon sebenarnya, lebih pada kondisi ekonomi Pak Hadi yang bisa dibilang belum stabil. Sebab untuk urusan perempuan, calon, atau apapun sebutannya, Pak Hadi bukan termasuk orang yang susah-susah amat untuk mencari dan mendapatkan. Bahkan sampai sekarang pun ada beberapa nama yang masuk daftar teman dekat dan masih intens komunikasi. Lagi-lagi karena memang belum siap untuk membangun rumah tangga. Mungkin kalian perlu tahu sedikit bagaimana kondisi ekonomi Pak Hadi. Jadi semenjak Pak Hadi kerja sudah banyak beban yang harus ditanggung. Tidak begitu ingat sampai ...

Sia-sia

Fakta bahwa kamu banyak yang suka atau banyak yang ngejar adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Karena itu berarti aku tidak perlu khawatir berlebihan jika suatu saat nanti takdir memisahkan jalan kita. Bukankah sedari awal kita tidak saling menjanjikan apa-apa? Hanya sebatas teman yang berusaha sejalan, melangkah beriringan, dan saling support. Sayangnya, lagi-lagi salah satu pihak melibatkan perasaan terlalu jauh. Hal yang paling aku wanti-wanti di awal pada akhirnya terjadi juga. Sebenarnya kamu sayang nggak sih? Pertanyaan yang akhirnya terlontar sebagai wujud dari kebutuhan akan kepastian. Untuk ke sekian kalinya aku tidak bisa berkata-kata. Penjelasan yang coba aku utarakan hanya berputar di isi kepala. Aku dengan mulut yang membisu dan mata yang mulai berkaca-kaca, semoga mampu ditangkap sebagai jawaban. Kita satu frekuensi, memiliki kesamaan dalam banyak hal. Sepertinya kita juga saling membutuhkan, saling berbagi kebaikan, dan banyak saling-saling lainnya. Tapi apakah l...