Hai, Sob. Selamat pagi di bulan Juli, semoga kita bisa saling mengerti. Aamiin.
Kali ini aku ingin ngomongin masa
pandemi Covid-19. Sedikit banyak kondisi ini telah merubah tatanan sosial
masyarakat kita. Mulai dari jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, tidak
salaman, hingga tunda mudik ke kampung halaman. Semua itu demi kebaikan
bersama, demi kesehatan kita semua.
Selain itu, pandemi juga telah
menghambat perekonomian kita. Ada yang kena PHK, ada juga yang dirumahkan sampai
kapan belum jelas waktunya. Wisudawan susah nyari kerja, pedagang kaki lima
tutup usaha, bantuan yang entah bagaimana cara membaginya, kesenjangan di
mana-mana. Dan aku termasuk dari salah satunya, daftar kerja ke mana-mana, ada
panggilan tapi belum jelas kelanjutannya. Ah semoga semua akan kembali
baik-baik saja.
Pandemi juga berimbas pada dunia
pendidikan kita. Sekolah dan kuliah di-daring-kan, UN ditiadakan, kelulusan
tidak dirayakan, toga wisuda yang terasa hampa dikenakan. Momen-momen keseruan
hilang begitu saja, coretan pilok di baju SMA, suara bising motor anak-anak
STM, dan antrian wisudawan di studio foto. Semua itu telah berganti warna,
tidak terlihat entah ke mana.
Rumah... yang katanya tempat melepas
penat, kini justru menjadi sumber penat. Nikmatnya liburan menjadi membosankan,
dan kegiatan di sekolah begitu dirindukan. Iya, semuanya telah berganti peran.
Aku memikirkan nasib pendidik kita, guru dan dosen, mereka dipaksa memahami
cara kerja teknologi, terutama di bidang informasi. Ah mari berdoa lagi, semoga
dunia ini lekas pulih kembali.
Pandemi tidak hanya menyerang
kesehatan raga kita, namun juga menyerang kesehatan jiwa. Psikis kita menjadi
terganggu, stres, jenuh, sampai muncul celotehan “pengen nikah aja”. Kalau ada
di antara kalian yang sempat-sempatnya bertanya “tahu dari mana kamu?”,
kebetulan aku mengalami juga, stres dan super jenuh di rumah. Beruntungnya, aku
belum sampai tahap pengen nikah aja.
Hal ini paling banyak berpengaruh
pada orang dengan kepribadian ekstrovert. Orang yang biasanya aktif kegiatan di
luar, sibuk melakukan pertemuan, menyelenggarakan event di sana sini, menjadi
pembicara, kemudian dihadapkan dengan kondisi harus #DiRumahAja. Sebisa apapun
mencari kesibukan di rumah, rasanya tetap berbeda dengan kesibukan di luar
rumah. Lagi-lagi ada sesuatu yang hilang, dan kita berharap yang hilang lekas
berpulang. Aamiin.
Mari kita geser ke perbincangan pandemi
dalam sudut pandang keagamaan, tentu sesuai dengan agama yang aku anut, Islam. Di
negara kita, terdapat berbagai macam paham keislaman yang justru membuat para
pemeluknya menjadi bingung, bahkan tidak jarang menjadi penyebab permusuhan.
Aku sedikit teringat dengan mata
kuliah “Ilmu Kalam” di UIN. Perkuliahan ini berfokus pada sejarah panjang
paham-paham Islam, mulai dari perang siffin yang menghasilkan perpecahan paham
sunni, syiah, dan khawarij. Kemudian sejarah berlanjut dan menghasilkan
beberapa paham/aliran baru, seperti: murjiah, mu’tazilah, jabariyah, qadariyah,
asy’ariyah, salafi wahabi, dan seterusnya. Terkait dengan aliran-aliran tadi,
aku tidak benar-benar ingat bagaimana konsep pahamnya. Bahkan, sewaktu
perkuliahan saja ada beberapa aliran yang belum aku pahami. Dan kalian bisa
menebak apa penyebabnya? Yaps, aku tertidur.
Balik lagi ke topik pembahasan,
tentang pandemi. Menurut hemat saya, ada tiga pendapat dalam menyikapi pandemi.
Pertama, tidak perlu berlebihan dalam menyikapi pandemi. Alasannya,
hidup dan mati seseorang sudah ditakdirkan oleh Allah semenjak dalam kandungan.
Kapan, di mana, dan dalam kondisi apa kematian seseorang sudah diatur oleh Sang
Pencipta. Ini selaras dengan aliran/paham Jabariyah yang mengartikan bahwa
setiap perbuatan dan nasib manusia sudah ditentukan oleh Allah. Seberbahaya
apapun covid-19, kalau Allah tidak mengijinkan kita untuk tertular maka tidak akan
tertular. Sebaliknya, seberusaha apapun kita melindungi diri, jika Allah
mengijinkan tertular maka kita akan tertular. Paham semacam ini banyak
dijadikan pegangan oleh masyarakat kita.
Kedua, sebisa mungkin melindungi diri. Sebab, takdir menyesuaikan dengan
usaha manusia. Pemikiran semacam ini selaras dengan paham Qadariyah. Di
Indonesia, pemahaman semacam ini banyak dianut oleh orang-orang kelas ekonomi
atas. (4 Juli 2020)
Wah sebentar, ini tulisan sedari 4
juli 2020. Baru saya baca ulang hari ini (23 Maret 2021). Ternyata masih belum
selesai saya tulis. Sedikitnya ada satu poin lagi yang tertinggal, yaitu
pendapat yang ketiga.
Ketiga, kita harus berupaya secara lahiriyah (fisik) untuk terus berusahan
menghentikan laju penyebaran virus ini dengan mengikuti himbauan pemerintah. Patuhi
protokol kesehatan, cuci tangan, masker dikenakan, jaga jarak dan hindari
kerumunan. Di sisi lain, secara ruhaniyah (jiwa) kita juga perlu meningkatkan iman,
semangat hidup, positif thinking, perbanyak doa, serta tawakal.
Kebetulan saya adalah penyintas Covid-19. Awal Desember lalu saya dinyatakan positiv covid dan harus melakukan isolasi. Saat itu juga saya memutuskan untuk isolasi di rumah dinas walikota Semarang, kebetulan di sana merupakan tempat karantina bagi pasien covid-19. Tidak butuh waktu lama, dalam tiga hari saya sembuh dan terbebas dari virus Covid ini. Ada beberapa hal yang saya tangkap sebagai upaya menyembuhkan diri dari covid kemarin, di antaranya: patuhi protokol kesehatan, bahagiakan diri, dan makan santapan yang enak dan bergizi.
Sekian.
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bercovid-covid kita dahulu
bervaksin-vaksin kemudian
Komentar
Posting Komentar