Langsung ke konten utama

Aku Ingin Miskin

Masa hari tua telah nampak di depan mata. Sisa usiaku kini lebih banyak dihabiskan untuk menemani sahabatku dalam berdakwah. Adalah Abin, sosok sahabat, guru sekaligus pemimpin yang begitu teladan. Tokoh masyarakat di kampungku yang cukup dikenal dengan pribadinya yang karismatik dan berjiwa sosial tinggi. Lima tahun silam kami bersama tiga sahabat lainnya mendirikan Rumah Bahagia atau RB, sebuah lembaga yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan. Dengan wadah RB ini, kami sering terjun ke lokasi bencana untuk membantu para warga yang terdampak.

Kembali ke sosok Abin, Ia memiliki wawasan yang cukup luas, terbilang cerdas jika sebatas memahami ilmu sosial, politik, dan agama. Pengaruhnya di masyarakat begitu diperhitungkan. Aku pun begitu kagum dengan pribadi sahabatku ini. Seolah pada setiap perkataannya terdapat kebenaran, langkah kakinya mengartikan perjuangan.

Kami berdua sedikitnya memiliki kegemaran yang sama. Iyah, kami sama-sama suka berbisnis. Aku sendiri setiap melihat ada barang yang bernilai jual, bawaannya pengin segera menjualnya. Entah mengapa setiap berbisnis aku merasakan sensasi kebahagiaan tersendiri. Bisnisku selalu untung, sampai-sampai ada kerabat dekat yang memanggilku dengan sebutan "tangan emas", sebab setiap barang yang aku jual pasti laku tanpa butuh waktu yang lama. Dari itu pula, perekonomianku tergolong sudah mapan.

Siang ini terik matahari menampakkan hangatnya. Adzan duhur berkumandang dengan merdunya. Sesaat setelah merapikan barang dagangan aku segera melangkahkan kaki ke masjid dekat pasar. Sesampainya di masjid, kudapati sahabatku Abin telah duduk di shaf paling depan. Aku berwudhu lantas mencari shaf kosong yang paling dekat dengan posisinya. Entah mengapa, seperti ada perasaan sejuk setiap berada di dekat sosok teladan yang satu ini. Qomat telah terdengar, kami pun melaksanakan sholat berjamaah dengan khidmat.

Belum selesai kuberdoa, terdengar sayup-sayup suara dari sisi depanku. Sahabatku Abin rupanya yang sedang berdoa.

"Ya Allah, hamba mencintai orang-orang yang miskin, maka hidupkanlah hamba dalam keadaan miskin, matikanlah hamba dalam keadaan miskin, serta kumpulkanlah hamba dengan orang-orang miskin di hari kiamat. Aamiin."  Ucapnya penuh khidmat.

Seketika aku teringat, dalam suatu majlis Ia pernah mengatakan bahwa orang miskin akan lebih dulu masuk surga, sedang orang kaya harus tertunda sebab hisab panjang dari setiap hartanya. Mendengar doa yang Ia panjatkan barusan membuatku sedih tidak karuan. Berarti selama ini, Ia tidak mengharapkan status sosialku, sebab aku tergolong kaya. Di akhirat kelak pun aku tidak bisa berkumpul dengannya lagi.

Dalam kesehariannya, Ia memang sering menemui orang-orang miskin, merangkul, menghibur, dan tidak jarang memberikan sodaqah juga. Ia begitu dicintai masyarakat sekitar, setiap teladan akhlaknya laksana cahaya yang terpancar. Satudari sebagian sifatnya yang aku teladani dalam berbisnis adalah sifat jujur. Ia sangat jujur baik dari perkataan maupun perbuatan. Sehingga setiap orang yang berbisnis dengannya tidak pernah merasa rugi. Jika barang jualannya terdapat cacat pun Ia sampaikan apa adanya.

"Barang ini masih bagus, harga pasarnya sekian, tapi aku beri harga murah, sebab meskipun dari luar terlihat bagus, tapi di dalamnya ada sedikit cacat." Ucapku pada pembeli dengan sedikit meniru gaya Abin ketika berjualan.

Teringat doa Abin siang tadi, seketika muncul keinginan untuk miskin. Tentu dengan harapan agar bisa terus berkumpul dengan Abin sampai di akhirat nanti.

Aku sudah berusaha memiskinkan diri, kerap kali mensodaqohkan harta ke fakir miskin, tapi kegemaranku berbisnis menghalangiku untuk miskin. Sampai pada satu momen, Tim Rumah Bahagia terjun ke lokasi bencana untuk bhakti sosial. Semua pengurus RB ikut ditambah beberapa tetangga yang kebanyakan berprofesi sebagai petani anggur. Sebenarnya sudah masanya untuk panen anggur, tapi kepedulian terhadap korban bencana mengetuk hati mereka untuk memilih melakukan bhakti sosial, mengesampingkan panennya.

Tim RB melaksanakan bhakti sosial selama satu minggu. Mulai dari memberikan pertolongan pertama, menyelamatkan barang-barang berharga, hingga membuat dapur umum untuk keperluan makan selama pemulihan wilayah bencana. Setelah dirasa cukup, kami ijin kepada warga di lokasi bencana untuk pamit pulang.

Sesampainya di desa, istri dari para petani melaporkan bahwa anggur yang dipanennya mulai membusuk. Itu artinya harus segera dipasarkan, pun tidak bisa pasang harga normal, mereka harus menurunkan harga agar cepat laku sebelum anggur benar-benar membusuk.

Bagiku ini adalah satu kesempatan emas untuk menyegerakan diri menjadi miskin. Aku berencana membeli semua anggur para petani yang mulai membusuk tadi dengan harga normal. Tidak masalah, justru ini akan memudahkan ambisiku untuk segera miskin. Setelah itu aku bisa lebih dekat lagi dengan Abin, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sungguh ini harapan besarku.

Tanpa pikir panjang lagi, segera aku kumpulkan uang simpananku. Sejurus kemudian aku membuat papan pengumuman bahwa aku akan membeli semua anggur para petani dengan harga normal. Tidak butuh waktu lama, mereka pun langsung memadati halaman rumahku. Rumahku seperti disulap menjadi ladang anggur. Setiap sudut ruangan terdapat beberapa keranjang lengkap dengan anggurnya. Hampir-hampir hartaku habis untuk membeli semua anggur para petani, tertinggal beberapa lembar saja uang di kantung bajuku. Seketika aku melemahkan badan bersujud syukur atas semuanya. Akhirnya doaku terkabul, aku menjadi miskin. Anggur-anggur yang sudah terbeli selanjutnya aku bagikan kepada tetangga sekitar. Namun karena kondisinya yang memang kurang bagus, sedikit busuk, dan mereka sudah biasa makan anggur, maka anggurku pun tidak berkurang banyak. Hal itu tidak menjadi masalah, karena tujuanku dari awal hanya satu, yaitu menjadi miskin.

Esok harinya terdengar kabar burung bahwa di kota tetangga sedang terjadi wabah penyakit. Sampai kabar itu tersebar, tim medis masih belum menemukan obat utamanya. Namun, ada hasil terbaru dari tim peneliti bahwa salah satu obat manjurnya adalah dengan memakan buah anggur yang busuk. Akhirnya bupati dari kota tersebut mengutus tim untuk mencari anggur yang busuk. Tempat demi tempat di kota tersebut telah dikunjungi, namun hasilnya nihil, tim khusus pun akhirnya mencari ke luar kota. Maka sampailah mereka di desaku. Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah pasar desa. Di sana tim khusus menanyakan siapa juragan yang menjual anggur. Karena sebagian penjual di pasar sudah mengetahui bahwa seluruh anggur telah dijual kepadaku, mereka pun mengarahkan tim khusus untuk menemuiku. Belum genap dua hari anggur memenuhi seisi rumahku, kini akan segera ludes. Kami pun mulai berbincang.

"Berapa engkau jual ini anggur busuknya?" Tanya salah seorang pemimpin mereka.

"Aku gratiskan saja, silahkan kalian bawa!" Jawabku dengan mantap.

"Tidak bisa, Pak. Pak Bupati memerintahkan saya untuk membelinya. Mohon sebutkan berapa harganya, Pak?" Ia melanjutkan nego.

Tiba-tiba terdengar sautan dari tetanggaku yang kebetulan mendengar obrolan kami.

"Kemarin ia membelinya dari para petani dengan total segini." Sahut salah seorang tetanggaku sembari menunjukkan jari yang mengartikan nominal uang.

"Baik, kalau begitu kami beli semua anggur busuknya dengan harga 3 kali lipat."  Timpal pemimpin tim khusus mengakhiri negosiasi.

Aku hanya terdiam, karena menolakpun percuma. Mereka baru mau membawa seluruh anggurnya jika aku jual, bukan digratiskan. Aku kembali mengalah pada keadaan.

Tidak butuh waktu lama seluruh anggur di rumahku ludes diborong utusan dari kota sebelah. Bukan senang, aku justru merasa sedih dengan seluruh uang yang ada di depan mataku. Niatku untuk memiskinkan diri gagal lagi. Justru aku menjadi semakin kaya.

Ampuni hamba-Mu ini, Ya Rabb...

Matahari barat sudah tenggelam, adzan maghrib telah dikumandangkan. Aku bergegas menuju masjid untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim, sekaligus berencana menemui Abin untuk konsultasi tentang masalah yang baru saja kualami. Selepas dzikir dan doa, aku mendekati Abin dan segera kuceritakan permasalahan anggur tadi yang justru membuatku semakin kaya.

"Wahai sahabatku, kemarin lusa aku pernah mendengar doamu, engkau menginginkan hidup miskin, dekat dengan orang miskin, dan dikumpulkan bersama orang-orang miskin di akhirat nanti,"  Ucapku mengawali cerita.

"Benar, adakah yang keliru dari doaku wahai sahabatku?" Jawabnya nampak perhatian.

Aku pun memulai cerita panjang lebar tentang keinginku untuk miskin, namun selalu gagal. Aku juga menceritakan maksud kemiskinanku yang semata-mata agar bisa senantiasa dekat dengannya, bisa berkumpul dengannya baik di dunia maupun di akhirat.

"Oh jadi begitu, ya sudah sebaiknya kita sama-sama berdoa agar bisa dipersaudarakan dan dikumpulkan seterusnya, tidak hanya di dunia tapi juga sampai di akhirat kelak." Nasihatnya menenteramkan hatiku.

Aku pun kembali menjalani hidup dengan normal, kegemaranku dalam berbisnis aku lanjutkan. Kekayaanku selalu kusalurkan pada jalan kebaikan, seperti membantu fakir miskin, menolong korban bencana, dan jalan perjuangan lainnya. Semoga dengan ini Allah akan memaafkan kekayaanku dan mempercepat hisabku di akhirat nanti, sehingga bisa segera menemui Abin di surga-Nya nanti. Aamiin.


Cerita ini terinspirasi dari kisah Sahabat Abdurahman Bin Auf. Banyak dimodifikasi oleh penulis untuk melatih daya imajinasi. Sebagai informasi penutup, dalam kisah aslinya, Abdurrahman bin Auf memang menginginkan kemiskinan sebab mendengar doa nabi. Serta teringat pada salah satu sabda nabi bahwa orang miskin akan masuk surga lebih dahulu. Sebab orang kaya lebih lama dalam menjalani hisab dari penggunaan seluruh hartanya. Sepulang perang Tabuk, kurma di seluruh Madinah hampir semuanya busuk karena telat dipanen. Para sahabat pun kebingungan mendapati masalah ini. Sebagian sahabat menjadikan kebun kurma tersebut sebagai satu-satunya sumber penghasilan. Akhirnya Abdurrahman pun berinisiatif untuk membeli semua kurma dari para sahabat. Hal ini juga dalam rangka memiskinkan diri.

Selengkapnya silahkan baca kisahnya secara langsung.

Abdurrahman bin Auf Ingin miskin -> beli semua kurma busuk milik para sahabat -> menjadi miskin -> terjadi wabah di Yaman -> obatnya kurma busuk -> utusan Yaman membeli dari Abdurrahman dengan harga 10 kali lipat -> kembali kaya raya. Haha...


Hikmahnya,

Baik miskin maupun kaya masing-masing memiliki kelebihan. Bagi yang miskin, tetaplah bersabar dan bersyukur, nyatanya kita menjadi bagian dari doa Nabi. Bagi yang kaya, perbanyak syukur dan pergunakan kekayaannya untuk dibelanjakan di jalan Allah, menolong fakir miskin, dan hal-hal baik lainnya. Di posisi manapun kita saat ini, yakinlah bahwa itu adalah hal baik yang patut kita syukuri. Bye.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebagai Pria ...

Bagaimana seharusnya sikap pria kepada wanitanya? Sebagai pria, seringkali kita keliru dalam memberikan perlakuan kepada pasangannya. Beberapa sikap mendasar yang kita anggap benar, bisa jadi merupakan sesuatu yang salah bagi wanita. Kita sering mendengar slogan “wanita selalu benar”, lalu kita menjadikannya seperti bahan olok-olokan. Sedikit berlebihan memang, sebab sangat mungkin jika sebenarnya memang kita -sebagai pria- yang salah. Kita seringkali tidak menyadari telah berbuat keliru terhadap pasangannya. Maka dalam kesempatan ini, sepertinya menarik untuk mengulas sedikit tentang bagaimana seharusnya sikap pria terhadap wanitanya. Inilah beberapa sikap yang seharusnya pria berikan kepada wanitanya: 1.     Jangan menjelaskan, tapi meminta maaf Yups, kalau kita punya salah atau dianggap salah sama pasangan kita, tidak perlu banyak menjelaskan ini itu, it’s percuma. Ketika doi sedang marah, akan susah untuk mau menerima penjelasan kita. Jangankan menerima, mendengarkan saja ras

Miskin Adalah Privilege

  “Miskin adalah privilege”, kalimat yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saat berjalan di halaman sekolah pagi tadi. Hari ini giliranku piket sambut di lobi sekolah. Menyambut kedatangan setiap murid dengan senyum, sapa, dan salam. Seperti biasa, aku dan rekan piketku bercanda ala-ala obrolan laki-laki nakal. Suara tawa kami sengaja ditahan atau dipelankan, bahkan sesekali berubah menjadi senyum om-om yang suka booking tempat karaoke. Berat sekali menjaga pandangan dari para perempuan cantik di sini yang notabene memang dibudayakan untuk saling tegur sapa. Sesekali aku membatin, Ya Allah… astaghfirullah… alhamdulillah… Bingung entah harus beristighfar atau bersyukur, keduanya bisa diucapkan dalam satu waktu. Mata yang cukup sehat untuk memandang keindahan paras makhluk-Nya, yang dalam keyakinanku pun akan berdosa jika dipandang secara berlebihan, lebih-lebih dengan pandangan nafsu. Kembali ke topik awal, miskin adalah privilege. Ya, bagiku miskin adalah privilege dari Allah, karena

Terburu-buru

Kali ini agak santai dikit yah, Sebelumnya thanks sudah mau mampir di blogku. Blog yang aku sendiri sampai sekarang ngerasa kurang berbobot, isinya cuma keluhan-keluhan tentang kehidupan. Sepurone yo. hehe Malam ini aku sehat, dan semoga kalian pun sama. Aamiin.   Sedikit kuawali dengan cerita kemarin lusa. Pulang dari Ngaliyan menuju ke Meteseh, seperti biasa aku bermotoran santai. Berangkat dari Ngaliyan menjelang maghrib . Suasana mulai terasa gelap saat aku memasuki kawasan Undip. Tepat di lampu merah depan Undip Inn arah ke Banjarsari, sesuai dengan aba-aba lampu merah aku pun berhenti. Tidak lama kemudian terdengar suara klakson sepeda motor dari arah belakangku. Rupanya dia ingin menyerobot lampu merah itu. Sejurus kemudian aku geser motorku ke tepi, bermaksud memberi ruang agar dia bisa mendahului. Ah barangkali dia sedang terburu-buru, mungkin ada urusan penting yang sudah menunggu. Husnudzan ku. Tidak lama berselang lampu hijau pun menyala. Aku kembali menancap gas b