Langsung ke konten utama

TERIMA SAJA


Hai gaes... ah nggak cocok aku ngomong begituan.  Emang paling pantes kalau manggilnya yang sopan-sopan aja. Hai pembaca yang budiman, hai sobat super, bertemu lagi dengan saya, eh berjumpa lagi dengan saya, Najwa Shihab, tuan rumah Mata Najwa. Haha apaan sih?

Sudah lama yah aku nggak nge-post tulisan lagi. Ya begitulah, aku masih modiyan buat ngerjain sesuatu. Kemarin-kemarin nulis cerpen, lalu ganti puisi, lanjut bikin video-video baper, sampai sempet disaranin buat bikin chanel YouTube yang khusus buat video-video baper tadi. Eh sekarang malah balik nulis lagi. Sementara ngikut apa mau mood saja deh.

Oh iya sobat, eh kawan, eh teman, eh apa yah sebutan yang cocok buat para pembaca blog-ku. Minta sarannya dong, wan-kawan. Nah panggil kawan aja kali yah. Uhuy sudahlah.

Cuz ke topik aja langsung. Buat kalian semua, pasti pernah kan ngrasain stuck, boring, ah sudahlah, atau kalau dalam bahasa daerahku “wis embuh”. Pernah? sama kok, dan aku rasa hampir semua yang punya rasa merasakan apa yang dirasakannya sebagai rasa yang... eh apaan sih? Pokoknya gitu lah. Kita semua pasti (pasti nggak pasti sih) pernah merasakan hidup yang seolah-olah nggak ada artinya lagi, capek, nyerah, dan semacamnya. Wajar kok, Sob. Wajar banget malah, sumpah deh, yakin, suwer, serius, dan demi apa terserah kalian.

Kalau menurut Mark Manson dalam bukunya “The Subtle Art of Not Giving a Fuck” atau di Indonesia  lebih dikenal dengan judul “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat”, mengungkapkan bahwa sesuatu yang... apa yah? Aku malah lupa, Sob.

Ah sudahlah, langsung pakai bahasaku aja. Jadi, ketika kita berusaha nggak menyerah sebenarnya kita telah menyerah. Penegasian terhadap kegagalan adalah sebuah kegagalan. Intinya itu ketika kita berusaha melawan sesuatu yang nampak negatif dari diri kita, sejatinya kita sudah menjadi negatif.

Paham nggak sih, Sob? Aku juga belum paham sih. Sinting kan? Haha biar deh.
Kadang, eh seringkali malah, kita siap sukses tapi nggak siap gagal, siap kaya tapi nggak siap miskin, siap menang nggak siap kalah, siap maju nggak siap mundur. Pokoknya, siap mendapat sesuatu yang positif tapi nggak siap mendapat sesuatu yang negatif. Iya kan, Sob? Apa nggak? Kalau nggak berarti itu cuma perasaanku. Ya sudah, nggak usah dilanjutin bacanya. Percuma kan? Hidih aku baperan banget yah. Haha

Nah, ketika kita di posisi yang negatif itu, Bro and Sis (eh gimana sih, tadi ada kawan, sob, sekarang bro & sis). Justru yang perlu kita lakukan itu satu, terima. Setelah kita berusaha berbuat yang positif semaksimal kita, lalu dapat balasan yang negatif ya kita terima. Kalau dalam bahasa agama disebut tawakal, yaitu sikap menerima terhadap takdir Tuhan setelah kita berusaha (ikhtiar).

Ada kan di antara kita yang pernah disakitin, dikecewain, dikhianatin, ditinggal pas lagi... tidur di kelas. Kalau nggak ada ya minimal aku sendiri pernah lah. hiks hiks... Dalam kondisi tersebut apa yang bakal kita lakuin? Nyalahin orang lain lalu menjadi dendam, nyalahin diri sendiri lalu menjadi terpuruk, atau menerima dengan lapang dada? Menurut Mark, pilihan terakhir-lah yang justru paling tepat untuk kita lakukan. Nih, kalau nyalahin orang lain dan dendam, maka ketika dendam itu tidak terbalaskan, kita menjadi lebih sakit, bahkan sakitnya berlipat ganda. Apalagi nyalahin diri sendiri, kita bisa saja dihantui rasa bersalah terus menerus. Kembali menurut Mark, yaitu sikap menerima dilanjutkan dengan intropeksi diri. Jika ditemukan kita sebagai penyebab maka jalani dan perbaiki diri, dan jika ditemukan kita sebagai akibat maka jalani dan terima.

Ingat hukum kebalikan, Sob? Eh emang aku sudah pernah nulis tentang hukum kebalikan sebelumnya. Belum deh. Wkwk 
Jadi begini, pengalaman yang negatif sejatinya adalah pengalaman positif. Sebaliknya, pengalaman yang positif sejatinya adalah pengalaman negatif. Pernah gagal di masa lalu adalah negatif, namun itu menjadi pengalaman positif. Orang yang terlahir dalam kondisi miskin lebih survive ketimbang dia yang terlahir kaya. Orang yang pernah atau sering disakiti akan menjadi lebih kuat dari lainnya. Sebaliknya, orang yang terbiasa menjadi juara kelas akan down ketika di satu waktu dia menjadi urutan terakhir di kelasnya. Namun balik lagi, justru itu akan menjadi pengalaman positifnya. Selebihnya kawan-kawan bisa simpulkan sendiri tentang hukum kebalikan. Oh iya, ngomong-ngomong ini juga disampaikan Mark dalam bukunya.

Dari hukum kebalikan tadi, aku ingin menegaskan bahwa rasa sakit, kecewa, gagal, down adalah sesuatu yang baik. Kita akan belajar banyak dari kejadian-kejadian yang menimpa kita, dengan syarat “terima dengan lapang dada”. Ketika kita sudah mampu menerima apapun yang menimpa kita, yang menjadi takdir kita, maka hadiahnya adalah ketenangan, kedamaian, dan kebahagian.

Aku jadi teringat Semar, salah satu tokoh dalam Pewayangan Jawa. Diceritakan, ia menjadi sangat disegani bukan lantaran kekekuatannya, bukan pula karena kesaktiannya. Ia disegani sebab kemampuannya menerima segala kondisi. Ia mampu menahan sakit, menahan lapar, melawan rasa takut, sehingga di mata lawan seolah Semar begitu berani, kuat, dan hebat. Lebih lengkapnya coba deh kawan-kawan tonton YouTube-nya Dr. Fahrudin Faiz yang “Ngaji Filsafat Semar”.

Oke, kita lanjut tentang sikap menerima. Dalam agama Islam dikenal istilah Qanaah, merasa cukup terhadap rejeki yang diberikan Tuhan. Menurut Imam Al Ghazali, kekayaan terbesar adalah qanaah. Sebanyak apapun harta seseorang, jika tidak memiliki sikap qanaah, ia tetap merasa miskin dan tidak akan puas dengan hartanya. Berbeda dengan ia yang memiliki sikap qanaah, berapapun harta yang dimilikinya, sedikit atau banyak, ia tetap merasa cukup, sebab itulah sejatinya kekayaan. 

Eh sebentar, Sob. Kok aku ngerasa tulisanku melebar ke mana-mana yah. Uhuy... terima saja

Kesimpulannya, apapun cobaan yang sedang menimpa kita, terima saja dengan lapang dada. Terlebih di masa pandemi ini, yang kerja banyak kena PHK, yang baru wisuda susah nyari kerja, yang sekolah entah kapan berangkatnya, yang jualan minim orderan, yang kantoran potong gajian, yang mahasiswa bingung nyari sampingan. Tidak ada yang pantas disalahkan, bukan salah kita, bukan juga salah mereka, tapi ini menjadi tanggung jawab bersama. 

Terima saja

Sebagaimana slogan “badai pasti berlalu”, semoga  musibah ini juga cepat berlalu.
Semangat, Sob. Selain badai pasti berlalu... nanti bahagia (juga) pasti berlalu...

Terima saja 

Btw, waktu aku baca ulang ini tulisan kok rasanya nano-nano. Di awal pakai bahasa santai, lalu di akhir menggunakan bahasa setengah baku. Ah bodo amat. Terima saja.

Terima kasih sudah mau baca tulisanku. Iya aku, yang motornya Beat, hapenya Xiomi, dan kartunya Tri. Terima saja.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebagai Pria ...

Bagaimana seharusnya sikap pria kepada wanitanya? Sebagai pria, seringkali kita keliru dalam memberikan perlakuan kepada pasangannya. Beberapa sikap mendasar yang kita anggap benar, bisa jadi merupakan sesuatu yang salah bagi wanita. Kita sering mendengar slogan “wanita selalu benar”, lalu kita menjadikannya seperti bahan olok-olokan. Sedikit berlebihan memang, sebab sangat mungkin jika sebenarnya memang kita -sebagai pria- yang salah. Kita seringkali tidak menyadari telah berbuat keliru terhadap pasangannya. Maka dalam kesempatan ini, sepertinya menarik untuk mengulas sedikit tentang bagaimana seharusnya sikap pria terhadap wanitanya. Inilah beberapa sikap yang seharusnya pria berikan kepada wanitanya: 1.     Jangan menjelaskan, tapi meminta maaf Yups, kalau kita punya salah atau dianggap salah sama pasangan kita, tidak perlu banyak menjelaskan ini itu, it’s percuma. Ketika doi sedang marah, akan susah untuk mau menerima penjelasan kita. Jangankan menerima, mendengarkan saja ras

Miskin Adalah Privilege

  “Miskin adalah privilege”, kalimat yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saat berjalan di halaman sekolah pagi tadi. Hari ini giliranku piket sambut di lobi sekolah. Menyambut kedatangan setiap murid dengan senyum, sapa, dan salam. Seperti biasa, aku dan rekan piketku bercanda ala-ala obrolan laki-laki nakal. Suara tawa kami sengaja ditahan atau dipelankan, bahkan sesekali berubah menjadi senyum om-om yang suka booking tempat karaoke. Berat sekali menjaga pandangan dari para perempuan cantik di sini yang notabene memang dibudayakan untuk saling tegur sapa. Sesekali aku membatin, Ya Allah… astaghfirullah… alhamdulillah… Bingung entah harus beristighfar atau bersyukur, keduanya bisa diucapkan dalam satu waktu. Mata yang cukup sehat untuk memandang keindahan paras makhluk-Nya, yang dalam keyakinanku pun akan berdosa jika dipandang secara berlebihan, lebih-lebih dengan pandangan nafsu. Kembali ke topik awal, miskin adalah privilege. Ya, bagiku miskin adalah privilege dari Allah, karena

Terburu-buru

Kali ini agak santai dikit yah, Sebelumnya thanks sudah mau mampir di blogku. Blog yang aku sendiri sampai sekarang ngerasa kurang berbobot, isinya cuma keluhan-keluhan tentang kehidupan. Sepurone yo. hehe Malam ini aku sehat, dan semoga kalian pun sama. Aamiin.   Sedikit kuawali dengan cerita kemarin lusa. Pulang dari Ngaliyan menuju ke Meteseh, seperti biasa aku bermotoran santai. Berangkat dari Ngaliyan menjelang maghrib . Suasana mulai terasa gelap saat aku memasuki kawasan Undip. Tepat di lampu merah depan Undip Inn arah ke Banjarsari, sesuai dengan aba-aba lampu merah aku pun berhenti. Tidak lama kemudian terdengar suara klakson sepeda motor dari arah belakangku. Rupanya dia ingin menyerobot lampu merah itu. Sejurus kemudian aku geser motorku ke tepi, bermaksud memberi ruang agar dia bisa mendahului. Ah barangkali dia sedang terburu-buru, mungkin ada urusan penting yang sudah menunggu. Husnudzan ku. Tidak lama berselang lampu hijau pun menyala. Aku kembali menancap gas b