Sudah menjadi sebuah tradisi di kalangan pesantren ketika seorang santri sowan kepada kiai atau gurunya. Suatu hari Hamid, salah seorang santri pesantren masyhur di Wonosobo, diutus oleh Sang Kiai untuk menemui Mbah Dalhar di Jombang dan Mbah Siradj di Pasuruan. Dua tokoh tersebut merupakan guru dari Sang Kiai sewaktu dulu masih menimba ilmu di pesantren. Pada lebaran tahun ini Sang Kiai mendadak sakit, sehingga belum bisa sowan ke para kiai yang di luar kota.
"Iki sangu kanggo ning dalan. Ati-ati yo, Le!" Pesan Sang Kiai sembari menyodorkan bekal dan ongkos perjalanan.
Singkat cerita, berangkatlah Hamid dari Wonosobo malam hari. Ia baru sampai di ndalem Kiai Dalhar Jombang ketika paginya. Ia disambut baik oleh Kiai, diberi jamuan yang lengkap, mulai dari dodol, kue kering, buah, keripik, dan banyak lainnya. Tidak lupa sebagai santap paginya dengan ketupat sayur dan teh hangat.
Kiai memberi banyak wejangan kepada Hamid. Selain itu, Kiai juga menceritakan sosok muridnya yang sekarang menjadi kiai masyhur di Wonosobo, tidak lain adalah kiainya Hamid.
"... Kiaimu kui cah mbeler, rodo nakal, nanging tetep nurut yo takdhim mbek guru-gurune. Pinter anggene gawe seneng ning guru-guru. Yo ngono kui lah kiaimu. Nakale mek koyo opo, tetep ngalim mbek takhdim." Tutur kiai menutup wejangannya.
"Nggih leres, Yai." Sahut Hamid.
"Salam kanggo kiaimu yo, njur iki kowe ning Mbah Siradj, Le?" Tanya kiai
"Nggih leres, Yai" Hamid mengangguk pelan.
"Kowe ning kono kudu akeh takoke, wes kui wae pesenku, salam kanggo Mbah Siradj yo, Le." Pesan kiai sebelum Hamid meninggalkan ndalem.
Setelah berpamitan, Hamid langsung melanjutkan perjalanan ke Pasuruan.
Hampir tiba waktu duhur, Hamid sudah sampai di ndalem Kiai Siradj. Dengan muka yang setengah kusam, ia memilih menyempatkan diri berwudhu di mushola komplek ndalem.
Kedatangan Hamid disambut salah seorang santri ndalem. Ia kemudian memberitahu maksud kedatangannya ke ndalem. Lalu santri tersebut mempersilahkan Hamid untuk duduk dan menikmati hidangan sembari menunggu Kiai Siradj.
"Owalah iki toh santrine anak lanangku..." Sambut Kiai sebelum sampai di tempat duduknya.
Hamid mengangguk sembari mencium tangan Kiai. Ia sedikit terheran ketika kiainya dipanggil dengan sebutan anak oleh Kiai Siradj.
"Iyo, Le. Kiaimu kui wis ta anggep anaku dewek, aku krungu kabar jare lagi mriyang, yo ta dongakno mugo ndang waras meneh" Ucap Kiai seperti mengerti pertanyaan yang ada di benak Hamid.
Tiba-tiba Hamid teringat pesan Kiai Dalhar. Ia diminta untuk banyak bertanya ketika bertemu Kiai Siradj. Namun, ia bingung untuk mengawali pembicaraan, takut dinilai kurang sopan. Sebab, lazimnya seorang santri cukup duduk mendengarkan dan mengangguk serta menjawab seperlunya. Hal itu sudah menjadi adab dan unggah-ungguh seorang santri kepada kiai.
Seolah mengerti kecanggungan Hamid, Kiai Siradj melemparkan senyum kemudian mengawali perbincangan.
"Wes ning ndi wae, Le?" Tanya Kiai.
"Wonten ndalem mriki kaliyan ndaleme Kiai Dalhar, Yai" Jawab Hamid dibarengi dengan senyum takdim.
"Oleh wejangan opo wae seko Mbah Dalhar, Le" Lanjut Kiai singkat.
Hamid kemudian menceritakan wejangan-wejangan dari Kiai Dalhar. Kali ini Hamid yang lebih banyak bercerita, sedangkan Kiai Siradj hanya tersenyum mengangguk pertanda mengiyakan cerita dari Hamid. Sesekali Kiai meminum teh hangat yang tersuguh di depannya.
"... Nggih kados niku, Yai." Hamid mengakhiri ceritanya.
"Emang Mbah Dalhar kui wong sing tenan ngalime, dawuhe akeh, tapi kabeh kui sumbere seko kitab-kitab, ora ndawuh ngasal" Sahut Kiai memuji kealiman Kiai Dalhar.
Tidak berselang lama Hamid meminta pamit kepada Kiai. Ia harus kembali lagi ke Jombang untuk mengambil kitab titipan Kiai Dalhar yang tertinggal.
"Yo wes kono ati-ati, salam kanggo Mbah Dalhar yo, Le. Iki kanggo tambahan sangu ning dalan" Pesan Kiai sembari menyelipkan sejumlah uang di saku kemeja Hamid.
Karena kecerobohannya, Hamid terpaksa harus balik lagi ke Jombang.
Sesampainya Hamid di ndalem Kiai Dalhar, ia diminta duduk sejenak sekedar melepas penat.
"Pie toh kowe, Le? Kok iso ketinggalan loh, opo pancen katagihan dolan kene? Njur kitabe sengojo mbok tinggal..." Tanya Kiai setengah bercanda.
"Pangapunten, Yai" Sahut Hamid setengah malu.
"Pie mau ning Mbah Siradj?" Tanya Kiai sedikit penasaran.
"Nggih kados niku, Yai. Kulo malah ingkang katah carios." Jawab Hamid pasrah.
"Yo ngono kui Mbah Siradj. Sibuk ngisi atine mbek dzikir, sampe ora kober ndawuh. Luwih akeh menenge mergo atine kebak dzikir. Iku atine luwih padang ketimbang dunyone." Tutur Kiai memuji kesholehan Mbah Siradj.
Hamid tertegun mendengar sanjungan Kiai kepada Mbah Siradj. Lalu Kiai melanjutkan ceritanya, sedang Hamid cukup asyik mendengarkan dengan sesekali mengambil cemilan yang tersaji.
Tidak terasa waktu sudah menjelang malam, ia pun memohon ijin ke Kiai untuk pulang. Kali ini kitabnya sudah erat ia pegang. Ia bergegas meninggalkan ndalem karena khawatir ketinggalan bus.
Hamid merasa bahagia sempat dipertemukan dengan dua ulama yang baik akhlaknya, tidak segan untuk memuji satu sama lain. Di tengah perjalanan pulang, Ia teringat story WhatsApp temennya tadi pagi. Ada foto dua ulama besar, yaitu Habib Umar bin Hafidz dan Habib Ali Al Jufri. Di foto itu tertulis...
Habib Ali Al Jufri berkata:
Jika engkau ingin melihat akhlak Nabi maka lihatlah Habib Umar bin Hafidz.
Habib Umar bin Hafidz berkata:
Jika engkau ingin melihat wajah Nabi, maka lihatlah Habib Ali Al Jufri, wajahnya mirip dengan Nabi.
Kemudian Hamid merenung,
Andai semua ulama di Indonesia seperti mereka, saling memuji bukan mencaci. Sungguh romantis sekali negeri ini.
Ia kemudian meniru anak-anak kecil ketika melantunkan puji-pujian di mushola kampungnya.
Kang aran sholeh bagus atine
Kerono mapan sari ngelmune
Laku thoriqot lan ma'rifate
Ugo hakekot manjing rasane
Bus terus melaju...
*Keterangan:
1. Cerita tersebut terinspirasi dari pengajian Yai (tentang Mbah Dalhar dan Mbah Siradj)
2. Penulis menambahkan latar tempat, waktu, dan tokoh Hamid.
3. Cerita penuh dengan bumbu-bumbu tambahan dari penulis, jadi cukup ambil hikmahnya saja.
Komentar
Posting Komentar