Pagi itu sinar mentari terasa lebih hangat memenuhi seluruh penjuru Markas Akademi Militer Magelang. Kemilau cahayanya memantul dari balik lencana pembina kami saat memberikan pidato upacara, membuat kami setengah menutup mata. Berbeda dari sebelumnya, upacara kali ini terasa lebih spesial karena merupakan upacara penutupan sekaligus perpisahan prajurit. Sebanyak dua ratus prajurit dilepas setelah sebelumnya menjalani Diklat selama dua tahun. Kami diberi waktu dua minggu untuk berlibur di rumah sebelum nantinya di tempatkan tugas di masing-masing wilayah. Aku memperoleh bagian penempatan di NTT, tepatnya di perbatasan Indonesia dan Timor Leste.
Selepas upacara aku beranjak ke barak untuk segera berkemas. Dengan menggunakan koper dan tas ransel sudah cukup untuk membawa semua barang-barangku selama Diklat. Siang itu juga aku meninggalkan Markas untuk bertolak ke rumahku di sebuah desa dekat pusat Kota Pekalongan. Tidak lupa aku sempatkan mampir di pusat oleh-oleh khas Magelang yang lokasinya tidak jauh dari Markas. Setelah dirasa cukup, aku segera bergegas menuju terminal. Sudah tidak sabar rasanya ingin berjumpa dengan keluarga dan sanak kerabat di rumah. Seperti biasa aku putuskan naik bus ekonomi, sebab selain murah biasanya ada banyak hiburan sepanjang perjalanan, seperti pedagang asongan dan pengamen.
Setelah menempuh perjalanan selama empat jam lebih, bus akhirnya sampai di terminal Pekalongan. Semua penumpang berangsur turun dan mencari elf atau angkot dengan tujuan masing-masing. Aku yang baru turun dari bus langsung ditawari elf oleh bapak-bapak kernet. Aku seperti kena jebakan, tidak bisa menolak sebab koper yang sedari tadi aku pegang telah dibawa bapak kernet. Praktek semacam ini memang sudah lazim terjadi di terminal. Pikirku, ya sudahlah apa salahnya aku naik elf itu. Aku memilih duduk di bangku tengah yang punya space lebih agar kaki bisa leluasa.
Belum lama aku duduk, elf berhenti. Lambaian tangan seorang gadis penyebabnya, ia menaiki elf dengan langkah penuh hati-hati. Gadis dengan perawakan sedang, kulit kuning langsat, wajah imut setengah manis, dengan balutan jilbab menambah kesan cantiknya. Jika boleh digambarkan ia mirip artis Meyda Sefira, pemeran utama di film Cinta Suci Zahrana. Ia masih mengenakan seragam lengkap dengan badge di lengan tertulis SMK Bhakti Nusa, mengartikan ia baru pulang dari sekolah. Ia sejenak berdiri mencari bangku kosong untuk ditempatinya. Wajah cantiknya menengok ke arahku, seketika setengah malu kualihkan perhatianku. Benar saja, tanpa basa-basi ia menyapaku lalu meminta ijin duduk di sebelahku. Dengan senang hati aku mengambil tas ransel yang sengaja kuletakkan di bangku sebelahku. Aku persilahkan ia duduk. Kebetulan kami satu almamater, sehingga cukup untuk jadi bahan obrolan kami selama di perjalanan pulang. Aku pun memberanikan diri mengawali obrolan. Kami saling cerita tentang keseruan di sekolah. Tidak lupa aku menanyakan kabar para pengajar dan kondisi sekolah saat ini. Tentu ada sedikit perubahan setelah kurang lebih tiga tahun aku lulus dari sekolah itu. Keasyikan berbincang perihal almamater kami sampai lupa untuk berkenalan.
Elf terus saja melaju dan sesekali berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Tidak terasa sudah masuk wilayah desaku. Gadis yang sedari tadi asyik berbincang denganku, tiba-tiba memperlihatkan mimik wajah kebingungan. Seperti sedang mencari sesuatu di dalam tasnya. Sesaat kemudian ia mengeluarkan dompet. Aku sempat mencuri pandang ke arah KTP yang terselip di dompetnya. Aku eja dalam hati nama yang tertulis di KTP itu. Sedangkan ia masih dengan wajah penuh kebingungan, namun tidak sedikitpun mengurangi paras cantiknya.
"Nyari apa yah?" Tanyaku sembari berdiri memastikan tidak ada sesuatu di bangku yang aku duduki.
Kemudian ia mulai bercerita secara singkat tentang apa yang membuat dirinya bingung. Kotak pensil yang biasa ia gunakan untuk menyimpan uang kecil tertinggal di kelas. Sementara uang di dompetnya sudah habis untuk pesta kecil-kecilan bareng teman kelasnya. Sesaat sekali ia menengok wajah ke tepi jalan, memastikan elf belum melewati gang rumahnya.
Mendengar cerita si gadis, aku tergerak untuk mengambil uang di dompet bermaksud membantunya.
Kebetulan elf sudah hampir sampai di gang rumahku. Sepertinya aku akan turun lebih dulu sebelum gadis itu. Aku bergegas mengambil koper sekaligus memakai tas ranselku. Kusodorkan uang sepuluh ribu ke pak kernet, cukup untuk membayar membayar ongkos kami berdua.
"Kiri, Pak" ucapku tanda meminta berhenti.
"Terima kasih, Mas" sahut si gadis sambil memperlihatkan senyum bahagia ke arahku. Wajah bingungnya mulai memudar digantikan wajah cantik nan indah berseri. Aku berkali-kali harus dibuat takjub oleh kecantikannya. Beruntung sekali sempat berbincang lama dengan dirinya. Aku seakan ingin mengulur waktu agar lebih leluasa merasakan romantisnya duduk berdua.
Elf-pun berhenti. Setengah berat hati kulangkahkan kaki turun dari elf. Sebelum kaki menapak tanah, kusempatkan membalas senyum ke gadis itu. Telah kusiapkan sebuah ucapan penuh arti, berharap mampu menyempurnakan hari bahagianya.
"SELAMAT ULANG TAHUN USSY MIRCHAYANI"
Si gadis yang sedari tadi berusaha tidak lepas dari menatapku tiba-tiba mengernyitkan wajah setengah malu, ia tampak canggung berusaha menebak siapa diriku. Namun sayang, keadaan tidak mendukung kami. Seperti tidak mengerti akan dua insan yang saling menatap, elf kini kembali melaju. Gadis itu kembali teringat kejadian saat dirinya membuka tas tadi. Ia sempat membuka dompet dengan KTP terselip paling depan sehingga sangat mudah untuk dibaca siapapun yang melihatnya, meski sebatas nama dan tanggal lahir saja. Kini ia tahu dari mana aku mengetahui namanya.
Tidak lama ia tersadar, lantas dengan sigap ia berusaha meraih jendela sisi kiri elf yang memungkinkan untuk menengok ke arahku. Ia lalu membuka jendela dengan kedua tangan lembutnya.
"Panggil aku ICHA" suara lantangnya mengalun pelan ke telingaku. Kini wajah cantik itu setengah terlihat keluar dari jendela. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali menatapnya. Aiiiiih cantik nian gadis itu.
Aku hanya bisa tersenyum memandangi elf yang melaju membawa gadis cantik itu. Kusimpan dalam ingatan suara yang terdengar, rupanya ia biasa dipanggil Icha. Aku tidak mau berpikir dan berharap lebih.
"Ia kukenal dalam sekejap, barangkali hadirnya hanya untuk mengetuk hati, bukan bermaksud menempati. Tetap bersabar pada diri."
Kiranya rangkaian kalimat itu yang bisa kutanamkan baik-baik di dalam hati.
Sampai jumpa, Icha.
... bersambung
Wah penasaran seperti apa kelanjutannya
BalasHapusWkwk... Aku juga penasaran
HapusBerbakat nulis fiksi, eh fiksi po nyata ki ya
HapusSetengah nyata... Wkwk
BalasHapusMantab, Bang. Lanjutkan 👍
BalasHapusKeren.... Lanjutkan bang
BalasHapusSusah uy
Hapus