Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2022

Ningmay

  Cukup lama aku menunggu di bilik pesantren ini. Seperti santri putra lainnya, aku berusaha mencuri pandang setiap santri putri yang melintas sepulang mengaji. Berharap dapat kembali kupandangi wajah yang teduh itu. Mayang, perempuan cantik asal Kalibakung itu menjadi pusat perhatian kami. Memang bukan aku yang pertama kali kenal, sebab kami beda angkatan. Aku masuk pesantren 2010, sedang dia satu tahun setelahnya. Jelas lebih dulu diperebutkan santri putra yang seangkatan. Namun aku pantang pulang sebelum menang, pantang menyerah sebelum kalah, pantang mundur sebelum lebur. Jika mengutip lirik lagu Dewa 19, akulah arjuna yang mencari cinta wahai wanita cintailah aku. Libur panjang dimulai, seluruh santri dijemput keluarganya masing-masing. Bagiku ini merupakan kesempatan emas, momen di mana aktifitas pesantren terlepas dari pantauan pengurus. Santri putra dan putri boleh bertemu di aula penjemputan. Tumpah ruah bagai pasar tiban yang biasa digelar di lapangan kecamatan. Tak ing

Ghosting

  “Bacot Lu!” ungkapnya mengkahiri obrolan di tengah-tengah keramaian angkringan lesehan Arista, Pamularsih. Aku yang tak terbiasa dengan ucapan kasar hanya menunduk terdiam. Memang bukan seluruhnya salah Amel, sapaan akrabnya. Sangat wajar jika dia akhirnya mengumpat ucapan kasar di hadapanku. Salahku, sedari awal menawarkan hal-hal baik baginya. Dari mulai menjadi teman bercerita, teman bersukaria, dan teman berbagi cita. Kami banyak kesamaan dalam segala hal. Barangkali ini yang kemudian ditangkap Amel berlebihan. Aku mewanti-wanti sejak awal pertemuan, mohon jangan libatkan perasaan. Panjang lebar aku berusaha menjelaskan, perlahan penuh pertimbangan, bahwa hubungan ini sudah berlebihan, aku tidak bisa melanjutkan. “Tapi aku terlanjur nyaman, Bi” lirih Amel sembari menyela tetesan air matanya. Aku masih saja terdiam, berusaha menangkap semua yang telah dia utarakan. Aku tak menyangka, sudah sejauh ini terlibat dalam alur kisahnya. Sesaat aku coba mengenang dua bulan ke bela

DETA

  Tidak terasa kabut tipis turun membumi Udara dingin khas pegunungan mulai menjalari Rintik gerimis mengaburkan cahaya bulan Menambah kelam suasana kegelapan   Malam mencekam Aku sudah cukup lama menunggu Di teras langgar tempat terakhir kita bertemu Demi berbagi apapun yang mampu mendamaikanku   Sejenak, Kubaca lagi isi surat yang kubawa Tertulis 10 Juni ba'da Isya di tempat biasa   Hemmm, aku takut... Bakal lupa cerita-cerita yang kusiapkan sedari siang Tentang kacamatamu yang sempat kupecahkan Tentang arti lesung pipimu yang manis menawan   Detik jam terus berjalan Kau belum juga memberi tanda kehadiran Sementara aku terus menunggu dalam ketidakpastian   Semestinya aku khawatir Bukan sebab rumahmu yang tepat berada di seberang jalan Aku lebih khawatir kau semakin jauh dari harapan Sebab hijabmu kini semakin menutup pandangan   Aku sadar Segala tentang kita harus mulai direlakan Bahkan antar Tuhan kita pun tidak sejalan